Sentot Ali Basya atau Sentot Ali Basya Abdullah Mustafa Prawirodirjo mungkin asing ditelinga kita. Namun, tokoh yang satu ini merupakan Panglima besar di masanya.
Dilansir sindonews.com, ia juga merupakan salah satu buyut dari Sultan Hamengku Buwono I yang menjabat sebagai Sultan di Kerajaan Mataram Islam yang sekarang dikenal sebagai Yogyakarta.
Di usia yang masih belia, tepatnya 17 tahun, Sentot Ali Basya diangkat menjadi panglima perang untuk
pasukan Pangeran Diponegoro. Ia juga mendapatkan gelar Basya atau Pasha sesuai gelar para panglima di Turki Ustmani.
Meski usianya masih sangat muda ketika diangkat menjadi panglima, ia membuktikan diri dengan keberhasilan melawan Belanda.
Pria yang juga dijuluki dengan sebutan Napoleon Jawa ini merupakan panglima kepercayaan pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun.
Bisa dibilang, perang ini merupakan perang Sabilillah dengan tujuan mengusir para penjajah dari tanah Jawa untuk menegakkan kemerdekan dan keadilan.
Sentot Ali Basya memiliki
pasukan yang terbilang unik. Bukan hanya jumlahnya yang mencapai 1000 orang, pasukan Sentot Ali Basya juga punya penampilan yang berbeda.
Mereka selalu mengenakan jubah dan surban sambil menyandang senjata. Bahkan, struktur pasukannya pun mirip pasukan Turki Utsmani.
Dibawah perintah Pangeran Diponegoro dan Sentot Ali Basya, pasukan ini berhasil membuat Belanda kelimpungan. Belanda mengirim banyak Jenderal, Kolonel, dan Mayor untuk mengalahkannya.
Karena tak juga menang melawan pasukan Jihad di Jawa, Belanda akhirnya menggunakan cara licik dengan menjebak para pemimpin perang.
Belanda membujuk kakak Sentot Ali Basya yang juga menjabat sebagai Bupati Madiun, Prawodiningrat, untuk bisa mendekati adiknya. Terlalu percaya pada sang kakak, ia pun menerima tawaran Belanda.
Sayangnya, itu hanyalah jebakan yang membuatnya dijadikan tawanan perang. Ia juga dipaksa bertempur menghadapi Imam Bonjol.
Hingga di Sumatera Barat dia mendapat kesempatan untuk melakukan kontak dengan anak buah Imam Bonjol untuk masuk ke pasukan Paderi dan melanjutkan perang Sabil.
Sayang, rencananya diketahui Belanda dan membuatnya dikirim ke Batavia. Di Batavia, Gubernur Jenderal Belanda mengeluarkan surat keputusan yang menjadikannya tawanan perang dan diasingkan ke Bengkulu.
BAGUS SINGLON
Pangeran Alip / R.M.Singlon/ R.M Sodewo / Ki Sodewo/ Demang Notodirjo. Awal tahun 1810 Pangeran Diponegoro menikah dengan Raden Ayu Citrowati putra Tumenggung Ronggo Prawirosentiko di kawasan Brangwetan. Pernikahan dilangsungkan di wilayah perbatasan Gunung Kidul dan Pacitan ketika Pangeran Diponegoro melakukan pengembaraan. Belum sempat diperkenalkan dengan keluarga di Jogja, Raden Ayu Citrowati meninggal dalam kerusuhan di Madiun lama atau Maospati, setelah dia melahirkan Pangeran Alip.
Putera Pangeran Diponegoro yang masih bayi tersebut kemudian dibawa oleh sahabat Pangeran Diponegoro yang bernama Tembi menyusul ke tempat Pangeran Diponegoro bertapa di Gua Cerme atau yang sekarang dikenal dengan Gua Selarong. Sebutan Ki Tembi sebenarnya bukanlah nama yang sebenarnya. Ki Tembi berasal dari kata seorang laki-laki yang berasal dari Patemben atau tempat menitipkan anak. Dalam kebiasaan di kalangan keluarga kerajaan, anak-anak bayi biasa dititipkan untuk disusukan kepada keluarga para abdi di sebuah tempat kusus. Nama tempat tersebut dalam bahasa jawa adalah Patemben.
Pada saat itu tidak mungkin Pangeran Diponegoro membawa bayi tersebut pulang ke Tegalrejo karena tidak ada pengasuh di sana karena isteri tertuanya juga tengah mengasuh anak kecil, begitu juga dengan isteri ketiganya. Sedangakan isteri keduanya yang dari trah ningrat lebih banyak tinggal di istana. Atas permintaan Pangeran Diponegoro anak tersebut dititipkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan dibesarkan. Agar tidak diketahui oleh siapa-siapa Ki Tembi disuruh memberi nama singlon . Singlon artinya samaran atau sembunyi (hiden). Bayi yang baru beberapa minggu lahir dan ditinggal mati oleh ibunya ini perlu disembuyikan karena Pangeran Diponegoro mempunyai firasat bahwa anak tersebut kelak akan menjadi prajurit yang hebat, maka perlu disembuyikan dan mendapatkan pendidikan khusus.
Perintah kepada Ki Tembi adalah : ????�Jenengono singlon ben ora konangan Londo (berilah nama samaran agar tidak ketahuan Belanda)????� sehingga dia disebut Raden Mas Singlon. Jadi nama Singlon sendiri sebenarnya bukan nama resmi, tetapi nama panggilan. Bisa jadi ini karena kesalah pahaman Ki Tembi ketika diberi perintah oleh Pangeran Diponegoro agar memberi nama singlon yang maksudnya adalah nama samaran tetapi singlon malah dijadikan nama panggilan sehingga jadilah nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon. Sebutan Sodewo diberikan oleh Pangeran Diponegoro karena Raden Mas Singlon berperang laksono dewo atau bagaikan dewa. Jadi Sodewo adalah singkatan dari kata laksono dewo. Gelar Raden Mas ditanggalkan oleh Ki Sodewo dalam penyamaran dan lebih banyak dipanggil Ki (panggilan untuk laki-laki yang dihormati), agar gerakgeriknya tidak diawasi oleh Belanda.
Di wilayah Banyumas nama Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo lebih dikenal dengan sebutan Demang Notodirjo. Nama Notodirjo pernah dipakai oleh Raden Basyah Abdul Kamil Alibasah yaitu kakak Sentot Prawirodirjo. Raden Basyah Abdul Kamil Alibasah atau Tumenggung Notodirjo adalah suami pertama Raden Ayu Impun puteri Pangeran Diponegoro. Setelah Raden Basyah Abdul Kamil gugur dalam pertempuran, Raden Ayu Basah atau Raden Ayu Impun dinikahi oleh Tumenggung Mertonegoro, sehingga nama puteri Pangeran Diponegoro ini sering dikenal dengan nama Raden Ayu Basah Mertonegoro. Nama Notodirjo sendiri lalu digunakan oleh Raden Mas Singlon sekaligus menggantikan Notodirjo sebelumnya dalam peperangan.
Raden Mas Singlon meninggal dalam peperangan sekitar tahun 1860, setelah dijebak oleh saudara seperguruannya Ki Wrekso Sosrobahu. Kepala Ki Sodewo di penggal dan dibawa ke sebuah bukit di Kaliagung, Sentolo Kulon Progo sedangkan tubuhnya di hanyutkan di sungai Serang. Sehari kemudian tubuhnya di temukan oleh seorang pedagang dan di makamkan di sebelah Utara pasar Wates. Sejak tahun 1966 kepala dan jasad tubuh Ki Sodewo telah disatukan dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum di Sideman, Wates Kulon Progo. Tubuhnya menyatu dalam kedamaian dengan bumi yang dibelanya sampai mati. Tubuhnya menyatu dengan bumi menoreh, sebuah tempat di mana ayahnya pernah dilantik sebagai seorang sultan oleh pengikutnya. Tubuhnya larut dan di bumi para pahlawan di Bumi Menoreh, Kulon Progo.
Dari ayahnya, yaitu Pangeran Diponegoro, Raden Mas Sodewo mendapatkan banyak pelajaran yang kemudian oleh Raden Mas Sodewo dirangkum dalam sebuah tembang yang isinya adalah 13 butir pedoman hidup bagi keturunan Raden Mas Sodewo yang biasa disebut dengan Anggerangger (Aturan) Sodewo yang berbunyi : ????� Kuwajibaning tiyang gesang puniki kedah ngagungaken kaluhuraning budi pekerti, anggadahi raos tepo seliro, kedah patuh mring pemimpin, soho jujur ing samubarang, nindakaken amar makruf nahi mungkar, wantun mbingkas piawon lan kemungkaran kangge njejegaken bebener, ugi suko paring keadilan, tansah nindaaken belo nuso lan bongso, soho pikantuk gemblengan kanuragan, tansah ningkataken iman soho takwa, sumendhe dumateng Allah kanthi semedi utawi maneges dhumateng Hyang Widi. ????� yang artinya : ????�Kuwajiban sebagai manusia harus mengagungkan sifat luhur dalam budi pekerti, harus taat pada pimpinan , serta jujur dalam segala hal, menjalankan amar makruf nahi mungkar, berani memberantas keburukan dan kejahatan untuk menegakkan kebenaran, juga senang berbuat adil, selalu membela nusa dan bangsa, serta mendapat latihan bela diri, selalu meningkatkan iman dan takwa, berserah diri kepada Allah dengan tafakur atau bermujahadah kepada Yang Maha Esa????�. Angger-angger Sodewo mungkin telah dilupakan oleh masyarakat umum, tetapi bagi keturunan Ki Sodewo tidak akan pernah dilupakan.
Angger-Angger Sodewo telah diwariskan secara turun temurun dan menjadi pedoman hidup yang sampai saat ini menjadi warisan yang sangat berarti dan tidak ternilai harganya. Angger-angger Sodewo sendiri sebenarnya adalah sebuah pusaka berupa nasehat yang diterima oleh Raden Mas Sodewo dari ayahnya, yaitu Pangeran Diponegoro. Pemberian pusaka berupa nasehat ini diberikan setelah Raden Mas Sodewo menolak pemberian pusaka berupa keris ataupun tombak.
Raden Mas Sodewo merasa sudah memiliki pusaka dari Sultan Hamengkubuwono II ketika mengirimkan bahan bangunan untuk mendirikan sebuah pesanggrahan di dusun Bosol, Giripeni pada tahun 1828 menjelang sultan kedua itu wafat serta sebuah pusaka berupa cambuk atau cemeti milik kakeknya Prawirosentiko. Cambuk atau cemeti tersebut bernama Kyai Guntur.
RADEN TUMENGGUNG PRAWIRODIGDOYO
RADEN TUMENGGUNG PRAWIRODIGDOYO Lahir kurang lebih pada tahun 1780 sebagai anak kedua dari Raden Ngabehi Surotaruno III yang merupakan keturunan dari ayah garis keenam dari I.S.K.S. Amangkurat Agung, (Tegal) keturunan dari Pangeran Notobroto I, Ibu garis keempat dari I.S.K.S. Pakubuwono I (Pangeran Puger) dari B.P.H. Puruboyo (Lumajang).
Raden Tumenggung Prawirodigdoyo dibesarkan di daerah Gagatan dan semenjak masih kecil telah memiliki kelebihan dibandingkan dengan teman-teman sebayanya sebagai contoh pada waktu menginjak usia 8 tahun, Raden Tumenggung Prawirodigdoyo telah bisa menaiki kuda dan hari-demi hari teman-teman sepermainannya semakin sayang dengannya. Gagatan merupakan dukuh di kaki pegunungan Kendeng terletak ditepi sungai ketoyan (Wonosegoro), sedangkan arti gagatan sendiri ada bermacam-macam yaitu dari kata gagat yang bermakna pagi-pagi benar atau sebelum matahari terbit, ettapi jika dibaca dengan menggunakan aksara jawa maka gagat sendiri adalah berarti kuat sekali yang memiliki makna apabila beradu kekuatan sampai titik darah penghabisan (dilabuhi pecahing dada, wutahing ludira), jika dipisah suku kata gagatan akan menjadi dua kata yang bermakna lain yaitu gaga (padi yang ditanan di ladang) dan ketan (padi ketan).
Di Gagatan jika kita berkunjung kesana maka akan kita jumpai gundukan tanah yang menurut cerita terdapat dua versi yang pertama adalah makam Kyai Berah atau Dinrah (yang berasal dari kata modin dan lurah) yang kediua menurut K.R.M. Mloyosunaryo gundukan tersebut adalah bekas galian tanah tempat bertapa pendem I.S.K.S Pakubuwono VI bersama-sama dengan Raden Tumenggung Prawirodidoyo yang memberikan ilmunya berupa Ajidipa dan membuat sumpah untuk memerangi penjajah Belanda.
Penjajahan Belanda kian hari menjadi kian kejam, dan hal ini juga dirasakan didaerah Gagatan, sebelum pecah perang Diponegoro telah banyak persekutuan antara penguasa daerah menentang penjajahan Belanda. Menurut cerita, Raden Tumenggung Prawirodidoyo memiliki pasukan sejumlah 6000 orang dengan bersenjatakan tombak, pedang, bandil dan empat buah pucuk meriam dan memiliki sebuah pusaka yang berupa sebuah kentongan pemberian dari Kyai Gunung Merbabu dengan khasiat apabila dipukul satu kali dapat terdengar diseluruh Kabupaten, rakyat yang mendengarnya akan siap siaga dan apabila dipukul dua kali maka bagi yang tidur akan bangun semua dan siap siaga dan yang takut menjadi pemberani, jika dipukul tiga kali, semuanya akan berangkat ke Gagatan dengan senjata lengkap.
Hal tersebut ternyata diketahui oleh pihak Belanda dan ditulis dalam buku De Java Oorlog jilid I halaman 362. Kegigihan Raden Tumenggung Prawirodidoyo dan I.S.K.S Pakubuwono VI dalam menumpas Belanda digambarkan sebagai seorang yang naik kuda yang baru ditangkap dari hutan dan terus dinaiki sampai di kancah peperangan, sedangkan I.S.K.S Pakubuwono VI digambarkan sebagai seekor harimau buas yang ditusuk-tusuk oleh tombak. R.T. Prawirodigdoyo didampingi oleh Kyai singomanjat Imam Rozi, Kyai Singolodra Umar Sidig dan Kyai Suhodo Som dan Kyai Singoyudo pada tahun 1827 mengadakan peperangan di Desa Klengkong dan pihak belanda yang waktu itu dipimpin oleh Mayor Has, Kapten Win dan Regel dan senopati dari Mataram antara lain B.P.H Murdaningrat, B.P.H Hadiwinoto, B.P.H. Hadiwijoyo dan R.T Nitinegoro bertempur dengan hebatnya,
terlihat bahwa kekuatan kedua kubu seimbang dan seorang dari prajurit yang ada di Klengkong yang berpakaian celana bludru biru dengan baju tretes dengan srempang kuning emas besar dan bertopi bundar besar (songkok) yang tidak lain adalah telah terjatuh dari kudanya setelah terkena peluru meriam, namun masih dapat diselamatkan oleh para prajurit dan dibawa ke Desa Kedung Gubah dan dirawat oleh R.A. Sumirah selama 15 hari dan tepatnya sampai pada malam Jumat Pon tanggal 30 Nopember 1827 gugur karena luka dalam yang dideritanya.
sebelum meninggal Raden Tumenggung Prawirodidoyo berpesan agar nanti jasadnya dimakamkan di dekat makam gurunya Seh Kalikojipang di makam Blunyah Gede dan saat nanti agar Pangeran Diponegoro serta senopati-senopati yang ada supaya lebih berhati-hati sebab sekembalinya setelah berpesan demikian Raden Tumenggung Prawirodidoyo menghembuskan nafas terahir disaksikan oleh Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, dan R.A. Sumirah dan seperti pesan terahir yang disampaikan Raden Tumenggung Prawirodidoyo dimakamkan di Makam Bluyah Gede.