Friday, September 20, 2019

PERANG DJAWA

PANGERAN DIPONEGORO

Sejarah Pahlawan Pangeran Diponegoro

Ilustrasi : hsudiana
Sejarah Pahlawan Pangeran Diponegoro | Dipanegara atau dikenal dengan gelar Pangeran Dipanegara (Bahasa Jawa: Diponegoro) (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar.

Dipanegara adalah putra sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Dipanegara bernama kecil Raden Mas Antawirya (Bahasa Jawa: Ontowiryo).

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Dipanegara menolak keinginan ayahnya, Sultan hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Dipanegara mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Kedhaton, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Dipanegara lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Dipanegara menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Dipanegara.


Riwayat perjuangan Pangeran Diponegoro

Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Dipanegara di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Dipanegara yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Dipanegara menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Dipanegara menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Dipanegara membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Dipanegara di Goa Selarong.Perjuangan Pangeran Dipanegara ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Dipanegara. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Dipanegara. Sampai akhirnya Dipanegara ditangkap pada 1830.


Perang Diponegoro


Pertempuran terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri —yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal— di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando pangeran Dipanegara. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini bukan sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Dipanegara dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Dipanegara terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Dipanegara di Magelang. Di sana, Pangeran Dipanegara menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Dipanegara dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi keturunan Dipanegara, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Dipanegara kala itu. Kini anak cucu Dipanegara dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.


Penangkapan dan Pengasingan Pangeran Diponegoro

  • 16 Februari 1830 Pangeran Dipanegara dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
  • 28 Maret 1830 Dipanegara menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Dipanegara agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Dipanegara. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Dipanegara ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. 
  • 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 
  • 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado. 
  • 3 Mei 1830 Dipanegara dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
  • 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
  • 8 Januari 1855 Dipanegara wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.
Dalam perjuangannya, Pangeran Dipanegara dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Dipanegara dengan Raden Ayu Citrawati Puteri Bupati Madiun Raden Rangga. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo sendiri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.


Perjuangan Ki Sadewa untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.

Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Dipanegara lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Dipanegara, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.

Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo.

Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang keturunannya semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi, dan Maluku.


Penghargaan sebagai Pahlawan

Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota besar Indonesia terdapat jalan Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama nama tempat yang menggunakan nama beliau antara lain Stadion Diponegoro, Jalan diponegoro, Universitas Diponegoro, Kodam IV Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV Dipanegara serta di pintu masuk Undip Tembalang.

Kiai Maja

Kiai Maja, Ahli Strategi dan Perang Gerilya dari Pesantren

Kiai Maja, Ahli Strategi dan Perang Gerilya dari Pesantren
Kiai Maja lahir pada tahun 1792 (ada pula yang menyebut 1782) di Desa Mojo, Pajang, dekat Delanggu, Surakarta, dengan nama Bagus Khalifah. Ayahnya, Iman Abdul Ngarif, adalah seorang ulama terkenal yang dianugerahi tanah perdikan di Desa Baderan dan Mojo, Pajang. Ibunya, Raden Ayu Mursilah, adalah adik perempuan Sultan Hamengku Buwono III dan masih bersaudara sepupu dengan Pangeran Diponegoro. Kiai Maja kemudian mewarisi kedua desa perdikan tersebut dari ayahnya, termasuk pesantren, sehingga kemudian dikenal dengan nama salah satu desa ini.

Kiai Maja tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga besar pesantren dan komunitas santri yang sangat disegani di Kraton Surakarta maupun Yogyakarta. Banyak putra-putri bangsawan Solo yang nyantri di pesantrennya. Kiai Maja juga menikah dengan Raden Ayu Mangkubumi, istri dari Pangeran Mangkubumi, paman Diponegoro, yang sudah diceraikan. 

Ketika Perang Jawa berkecamuk, beliau mendukung sepenuhnya, termasuk memobilisasi para sanak keluarga dan sebagian besar pengikutnya di Pajang. Kontribusi Kiai Maja dalam peperangan sangatlah besar. Seorang mata-mata berkulit Jawa dikirim khusus oleh Belanda untuk mengetahui rahasia kesuksesan pasukan Diponegoro dalam beberpa pertempuran. Temuan mata-mata Kompeni yang menyusup ke dalam pasukan Diponegoro itu sangatlah mengejutkan: rahasia kekuatan Diponegoro ada pada diri seorang kiai pesantren bernama Kiai Maja, pemikir stategis dan jenderal perang gerilya Diponegoro -- yang selevel Napoleon, Mao Tse Tung dan Che Guevara.

Selama hidupnya Kiai Maja dikenal sebagai seorang ulama yang mobilitasnya sangat tinggi. Mengikuti tradisi santri kelana, Kiai Maja punya banyak relasi dan jaringan dengan pusat-pusat keagamaan dan politik di Jawa hingga ke Bali. Beliau pernah menjadi penghubung antara Kraton Surakarta dan Kerajaan Buleleng di Bali. Jaringan orang-orang pesantren dengan Bali, meski berbeda agama dan kepercayaan, sudah terbangun sejak abad 18. Dibuktikan dari adanya ikatan politik dan kebudayaan di antara mereka, misalnya perlindungan bagi kalangan santri yang lari ke Bali untuk menghindari penangkapan Kompeni hingga pemberian kebebasan beragama bagi komunitas-komunitas Muslim di pesisir utara Bali. 

Saking gerahnya pemerintah kolonial Inggris, penguasa Jawa saat itu, Kiai Maja sempat ditangkap pada Juli 1812. Pembatasan kemudian diberlakukan kepada orang-orang pesantren yang sebelumnya bisa leluasa keluar-masuk kraton. Mobilitas Kiai Maja dan jejaringnya ini, yang tidak dimiliki Diponegoro, kemudian menjadi obyek penjinakan Belanda untuk mematahkan perlawanan orang-orang Jawa.

Berkat kelicikan Belanda, pada tahun 12 November 1828 Kiai Maja ditangkap di Desa Kembang Arum, utara Yogyakarta. Ini menandai titik balik perjuangan Diponegoro, sampai akhirnya redup pada 1830. Pasukan Kiai Maja lalu digiring ke Klaten, sambil menyanyikan bersama-sama lagu-lagu keagamaan yang menunjukkan tanda kemenangan. Mereka lalu dibawa ke Batavia, ditahan hingga setahun lamanya. 

Di awal 1830, Kiai Maja bersama lebih dari 60 orang pendampingnya dibuang ke Minahasa. Isteri beliau menyusul setahun kemudian. Kebanyakan pendampingnya itu punya posisi strategis dalam bidang kemiliteran dan keagamaan dalam pasukan Diponegoro, dari gelar tumenggung, dipati, basah hingga kiai. Mereka tiba di Tondano dan mendirikan Kampung Jawa, yang hingga kini masih bertahan dengan tradisi Ahlussunnah wal-Jma’ahnya. Dari sumber-sumber terkini, Kiai Maja disebut sebagai “Mbah Guru”atau “Kiai Guru”. Sang kiai wafat pada 20 Desember 1849 dalam usia 57 tahun.

Pandangan nasionalismenya, “Amrih mashlahate kawulanίng Allah sedaya sarta amrίh karaharjane negari lestarίne agamί Islam” (Berjuang untuk kepentingan kemaslahatan para hamba Allah semua, untuk kesejahteraan negeri, serta untuk kepentingan kelestarian agama Islam), adalah salah satu warisan penting Kiai Maja selaku ideolog Perang Diponegoro kepada generasi berikut bangsa ini. 

Teks ini tercantum dalam satu manuskrip yang tersimpan pada keluarga Kiai Maja di Jakarta. Manuskrip berbahasa Jawa huruf pegon ini ditulis oleh Kiai Maja sendiri selama pembuangannya di Tondano, Minahasa, sekitar awal tahun 1833.

Allah yarhamhu......

Buku De java Oorlog ini menghimpun laporan gerilya dan surat gerilya Kiai Mojo. Tapi sayang surat-surat perang gerilya dan adu strategi Kiai Maja ini dalam Perang Diponegoro sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.. bukan lagi dalam versi aslinya dalam bahasa Jawa... Jadi kaum santri harus juga belajar bahasa Belanda untuk ngerti buku panduan perang gerilya arahan kiai hebat Jenderal Kiai Maja melawan penjajah --- hingga kini.... (Ahmad Baso)

Sentot Ali Basya 

Dijuluki Napoleon Jawa



Sentot Ali Basya atau Sentot Ali Basya Abdullah Mustafa Prawirodirjo mungkin asing ditelinga kita. Namun, tokoh yang satu ini merupakan Panglima besar di masanya.
Dilansir sindonews.com, ia juga merupakan salah satu buyut dari Sultan Hamengku Buwono I yang menjabat sebagai Sultan di Kerajaan Mataram Islam yang sekarang dikenal sebagai Yogyakarta.
Di usia yang masih belia, tepatnya 17 tahun, Sentot Ali Basya diangkat menjadi panglima perang untuk pasukan Pangeran Diponegoro. Ia juga mendapatkan gelar Basya atau Pasha sesuai gelar para panglima di Turki Ustmani.
Meski usianya masih sangat muda ketika diangkat menjadi panglima, ia membuktikan diri dengan keberhasilan melawan Belanda.
Pria yang juga dijuluki dengan sebutan Napoleon Jawa ini merupakan panglima kepercayaan pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa yang berlangsung selama lima tahun.
Bisa dibilang, perang ini merupakan perang Sabilillah dengan tujuan mengusir para penjajah dari tanah Jawa untuk menegakkan kemerdekan dan keadilan.
Sentot Ali Basya memiliki pasukan yang terbilang unik. Bukan hanya jumlahnya yang mencapai 1000 orang, pasukan Sentot Ali Basya juga punya penampilan yang berbeda.
Mereka selalu mengenakan jubah dan surban sambil menyandang senjata. Bahkan, struktur pasukannya pun mirip pasukan Turki Utsmani.
Dibawah perintah Pangeran Diponegoro dan Sentot Ali Basya, pasukan ini berhasil membuat Belanda kelimpungan. Belanda mengirim banyak Jenderal, Kolonel, dan Mayor untuk mengalahkannya.
Karena tak juga menang melawan pasukan Jihad di Jawa, Belanda akhirnya menggunakan cara licik dengan menjebak para pemimpin perang.
Belanda membujuk kakak Sentot Ali Basya yang juga menjabat sebagai Bupati Madiun, Prawodiningrat, untuk bisa mendekati adiknya. Terlalu percaya pada sang kakak, ia pun menerima tawaran Belanda.
Sayangnya, itu hanyalah jebakan yang membuatnya dijadikan tawanan perang. Ia juga dipaksa bertempur menghadapi Imam Bonjol.
Hingga di Sumatera Barat dia mendapat kesempatan untuk melakukan kontak dengan anak buah Imam Bonjol untuk masuk ke pasukan Paderi dan melanjutkan perang Sabil.
Sayang, rencananya diketahui Belanda dan membuatnya dikirim ke Batavia. Di Batavia, Gubernur Jenderal Belanda mengeluarkan surat keputusan yang menjadikannya tawanan perang dan diasingkan ke Bengkulu.

BAGUS SINGLON

Pangeran Alip / R.M.Singlon/ R.M Sodewo / Ki Sodewo/ Demang Notodirjo. Awal tahun 1810 Pangeran Diponegoro menikah dengan Raden Ayu Citrowati putra Tumenggung Ronggo Prawirosentiko di kawasan Brangwetan. Pernikahan dilangsungkan di wilayah perbatasan Gunung Kidul dan Pacitan ketika Pangeran Diponegoro melakukan pengembaraan. Belum sempat diperkenalkan dengan keluarga di Jogja, Raden Ayu Citrowati meninggal dalam kerusuhan di Madiun lama atau Maospati, setelah dia melahirkan Pangeran Alip. 

Putera Pangeran Diponegoro yang masih bayi tersebut kemudian dibawa oleh sahabat Pangeran Diponegoro yang bernama Tembi menyusul ke tempat Pangeran Diponegoro bertapa di Gua Cerme atau yang sekarang dikenal dengan Gua Selarong. Sebutan Ki Tembi sebenarnya bukanlah nama yang sebenarnya. Ki Tembi berasal dari kata seorang laki-laki yang berasal dari Patemben atau tempat menitipkan anak. Dalam kebiasaan di kalangan keluarga kerajaan, anak-anak bayi biasa dititipkan untuk disusukan kepada keluarga para abdi di sebuah tempat kusus. Nama tempat tersebut dalam bahasa jawa adalah Patemben. 

Pada saat itu tidak mungkin Pangeran Diponegoro membawa bayi tersebut pulang ke Tegalrejo karena tidak ada pengasuh di sana karena isteri tertuanya juga tengah mengasuh anak kecil, begitu juga dengan isteri ketiganya. Sedangakan isteri keduanya yang dari trah ningrat lebih banyak tinggal di istana. Atas permintaan Pangeran Diponegoro anak tersebut dititipkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan dibesarkan. Agar tidak diketahui oleh siapa-siapa Ki Tembi disuruh memberi nama singlon . Singlon artinya samaran atau sembunyi (hiden). Bayi yang baru beberapa minggu lahir dan ditinggal mati oleh ibunya ini perlu disembuyikan karena Pangeran Diponegoro mempunyai firasat bahwa anak tersebut kelak akan menjadi prajurit yang hebat, maka perlu disembuyikan dan mendapatkan pendidikan khusus. 

Perintah kepada Ki Tembi adalah : ????�Jenengono singlon ben ora konangan Londo (berilah nama samaran agar tidak ketahuan Belanda)????� sehingga dia disebut Raden Mas Singlon. Jadi nama Singlon sendiri sebenarnya bukan nama resmi, tetapi nama panggilan. Bisa jadi ini karena kesalah pahaman Ki Tembi ketika diberi perintah oleh Pangeran Diponegoro agar memberi nama singlon yang maksudnya adalah nama samaran tetapi singlon malah dijadikan nama panggilan sehingga jadilah nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon. Sebutan Sodewo diberikan oleh Pangeran Diponegoro karena Raden Mas Singlon berperang laksono dewo atau bagaikan dewa. Jadi Sodewo adalah singkatan dari kata laksono dewo. Gelar Raden Mas ditanggalkan oleh Ki Sodewo dalam penyamaran dan lebih banyak dipanggil Ki (panggilan untuk laki-laki yang dihormati), agar gerakgeriknya tidak diawasi oleh Belanda. 

Di wilayah Banyumas nama Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo lebih dikenal dengan sebutan Demang Notodirjo. Nama Notodirjo pernah dipakai oleh Raden Basyah Abdul Kamil Alibasah yaitu kakak Sentot Prawirodirjo. Raden Basyah Abdul Kamil Alibasah atau Tumenggung Notodirjo adalah suami pertama Raden Ayu Impun puteri Pangeran Diponegoro. Setelah Raden Basyah Abdul Kamil gugur dalam pertempuran, Raden Ayu Basah atau Raden Ayu Impun dinikahi oleh Tumenggung Mertonegoro, sehingga nama puteri Pangeran Diponegoro ini sering dikenal dengan nama Raden Ayu Basah Mertonegoro. Nama Notodirjo sendiri lalu digunakan oleh Raden Mas Singlon sekaligus menggantikan Notodirjo sebelumnya dalam peperangan. 

Raden Mas Singlon meninggal dalam peperangan sekitar tahun 1860, setelah dijebak oleh saudara seperguruannya Ki Wrekso Sosrobahu. Kepala Ki Sodewo di penggal dan dibawa ke sebuah bukit di Kaliagung, Sentolo Kulon Progo sedangkan tubuhnya di hanyutkan di sungai Serang. Sehari kemudian tubuhnya di temukan oleh seorang pedagang dan di makamkan di sebelah Utara pasar Wates. Sejak tahun 1966 kepala dan jasad tubuh Ki Sodewo telah disatukan dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum di Sideman, Wates Kulon Progo. Tubuhnya menyatu dalam kedamaian dengan bumi yang dibelanya sampai mati. Tubuhnya menyatu dengan bumi menoreh, sebuah tempat di mana ayahnya pernah dilantik sebagai seorang sultan oleh pengikutnya. Tubuhnya larut dan di bumi para pahlawan di Bumi Menoreh, Kulon Progo. 

Dari ayahnya, yaitu Pangeran Diponegoro, Raden Mas Sodewo mendapatkan banyak pelajaran yang kemudian oleh Raden Mas Sodewo dirangkum dalam sebuah tembang yang isinya adalah 13 butir pedoman hidup bagi keturunan Raden Mas Sodewo yang biasa disebut dengan Anggerangger (Aturan) Sodewo yang berbunyi : ????� Kuwajibaning tiyang gesang puniki kedah ngagungaken kaluhuraning budi pekerti, anggadahi raos tepo seliro, kedah patuh mring pemimpin, soho jujur ing samubarang, nindakaken amar makruf nahi mungkar, wantun mbingkas piawon lan kemungkaran kangge njejegaken bebener, ugi suko paring keadilan, tansah nindaaken belo nuso lan bongso, soho pikantuk gemblengan kanuragan, tansah ningkataken iman soho takwa, sumendhe dumateng Allah kanthi semedi utawi maneges dhumateng Hyang Widi. ????� yang artinya : ????�Kuwajiban sebagai manusia harus mengagungkan sifat luhur dalam budi pekerti, harus taat pada pimpinan , serta jujur dalam segala hal, menjalankan amar makruf nahi mungkar, berani memberantas keburukan dan kejahatan untuk menegakkan kebenaran, juga senang berbuat adil, selalu membela nusa dan bangsa, serta mendapat latihan bela diri, selalu meningkatkan iman dan takwa, berserah diri kepada Allah dengan tafakur atau bermujahadah kepada Yang Maha Esa????�. Angger-angger Sodewo mungkin telah dilupakan oleh masyarakat umum, tetapi bagi keturunan Ki Sodewo tidak akan pernah dilupakan. 

Angger-Angger Sodewo telah diwariskan secara turun temurun dan menjadi pedoman hidup yang sampai saat ini menjadi warisan yang sangat berarti dan tidak ternilai harganya. Angger-angger Sodewo sendiri sebenarnya adalah sebuah pusaka berupa nasehat yang diterima oleh Raden Mas Sodewo dari ayahnya, yaitu Pangeran Diponegoro. Pemberian pusaka berupa nasehat ini diberikan setelah Raden Mas Sodewo menolak pemberian pusaka berupa keris ataupun tombak. 

Raden Mas Sodewo merasa sudah memiliki pusaka dari Sultan Hamengkubuwono II ketika mengirimkan bahan bangunan untuk mendirikan sebuah pesanggrahan di dusun Bosol, Giripeni pada tahun 1828 menjelang sultan kedua itu wafat serta sebuah pusaka berupa cambuk atau cemeti milik kakeknya Prawirosentiko. Cambuk atau cemeti tersebut bernama Kyai Guntur.

RADEN TUMENGGUNG PRAWIRODIGDOYO

RADEN TUMENGGUNG PRAWIRODIGDOYO Lahir kurang lebih pada tahun 1780 sebagai anak kedua dari Raden Ngabehi Surotaruno III yang merupakan keturunan dari ayah garis keenam dari I.S.K.S. Amangkurat Agung, (Tegal) keturunan dari Pangeran Notobroto I, Ibu garis keempat dari I.S.K.S. Pakubuwono I (Pangeran Puger) dari B.P.H. Puruboyo (Lumajang). 

Raden Tumenggung Prawirodigdoyo dibesarkan di daerah Gagatan dan semenjak masih kecil telah memiliki kelebihan dibandingkan dengan teman-teman sebayanya sebagai contoh pada waktu menginjak usia 8 tahun, Raden Tumenggung Prawirodigdoyo telah bisa menaiki kuda dan hari-demi hari teman-teman sepermainannya semakin sayang dengannya. Gagatan merupakan dukuh di kaki pegunungan Kendeng terletak ditepi sungai ketoyan (Wonosegoro), sedangkan arti gagatan sendiri ada bermacam-macam yaitu dari kata gagat yang bermakna pagi-pagi benar atau sebelum matahari terbit, ettapi jika dibaca dengan menggunakan aksara jawa maka gagat sendiri adalah berarti kuat sekali yang memiliki makna apabila beradu kekuatan sampai titik darah penghabisan (dilabuhi pecahing dada, wutahing ludira), jika dipisah suku kata gagatan akan menjadi dua kata yang bermakna lain yaitu gaga (padi yang ditanan di ladang) dan ketan (padi ketan). 

Di Gagatan jika kita berkunjung kesana maka akan kita jumpai gundukan tanah yang menurut cerita terdapat dua versi yang pertama adalah makam Kyai Berah atau Dinrah (yang berasal dari kata modin dan lurah) yang kediua menurut K.R.M. Mloyosunaryo gundukan tersebut adalah bekas galian tanah tempat bertapa pendem I.S.K.S Pakubuwono VI bersama-sama dengan Raden Tumenggung Prawirodidoyo yang memberikan ilmunya berupa Ajidipa dan membuat sumpah untuk memerangi penjajah Belanda. 

Penjajahan Belanda kian hari menjadi kian kejam, dan hal ini juga dirasakan didaerah Gagatan, sebelum pecah perang Diponegoro telah banyak persekutuan antara penguasa daerah menentang penjajahan Belanda. Menurut cerita, Raden Tumenggung Prawirodidoyo memiliki pasukan sejumlah 6000 orang dengan bersenjatakan tombak, pedang, bandil dan empat buah pucuk meriam dan memiliki sebuah pusaka yang berupa sebuah kentongan pemberian dari Kyai Gunung Merbabu dengan khasiat apabila dipukul satu kali dapat terdengar diseluruh Kabupaten, rakyat yang mendengarnya akan siap siaga dan apabila dipukul dua kali maka bagi yang tidur akan bangun semua dan siap siaga dan yang takut menjadi pemberani, jika dipukul tiga kali, semuanya akan berangkat ke Gagatan dengan senjata lengkap. 

Hal tersebut ternyata diketahui oleh pihak Belanda dan ditulis dalam buku De Java Oorlog jilid I halaman 362. Kegigihan Raden Tumenggung Prawirodidoyo dan I.S.K.S Pakubuwono VI dalam menumpas Belanda digambarkan sebagai seorang yang naik kuda yang baru ditangkap dari hutan dan terus dinaiki sampai di kancah peperangan, sedangkan I.S.K.S Pakubuwono VI digambarkan sebagai seekor harimau buas yang ditusuk-tusuk oleh tombak. R.T. Prawirodigdoyo didampingi oleh Kyai singomanjat Imam Rozi, Kyai Singolodra Umar Sidig dan Kyai Suhodo Som dan Kyai Singoyudo pada tahun 1827 mengadakan peperangan di Desa Klengkong dan pihak belanda yang waktu itu dipimpin oleh Mayor Has, Kapten Win dan Regel dan senopati dari Mataram antara lain B.P.H Murdaningrat, B.P.H Hadiwinoto, B.P.H. Hadiwijoyo dan R.T Nitinegoro bertempur dengan hebatnya, 

terlihat bahwa kekuatan kedua kubu seimbang dan seorang dari prajurit yang ada di Klengkong yang berpakaian celana bludru biru dengan baju tretes dengan srempang kuning emas besar dan bertopi bundar besar (songkok) yang tidak lain adalah telah terjatuh dari kudanya setelah terkena peluru meriam, namun masih dapat diselamatkan oleh para prajurit dan dibawa ke Desa Kedung Gubah dan dirawat oleh R.A. Sumirah selama 15 hari dan tepatnya sampai pada malam Jumat Pon tanggal 30 Nopember 1827 gugur karena luka dalam yang dideritanya. 

sebelum meninggal Raden Tumenggung Prawirodidoyo berpesan agar nanti jasadnya dimakamkan di dekat makam gurunya Seh Kalikojipang di makam Blunyah Gede dan saat nanti agar Pangeran Diponegoro serta senopati-senopati yang ada supaya lebih berhati-hati sebab sekembalinya setelah berpesan demikian Raden Tumenggung Prawirodidoyo menghembuskan nafas terahir disaksikan oleh Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, dan R.A. Sumirah dan seperti pesan terahir yang disampaikan Raden Tumenggung Prawirodidoyo dimakamkan di Makam Bluyah Gede.

Sekian artikel dengan judul Sejarah Pahlawan Pangeran Diponegoro semoga bermanfaat.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.