Sanad
Emas ke 17. Muhammad Baha’uddin Syah Naqshbandi
December
2nd, 2013 fuadi
Muhammad
Baha’uddin Syah Naqshbandi
Semoga
Allah Menyucikan Ruhnya
Kidung
subuh sang merpati hutan, haru sendu membirukan
Air
mataku membangun lelapnya,
tidurku
pun tergugah tangisnya
Tak
saling kami mengerti, tatkala saling mengeluhkan
dan
dukaku pun telah dipahaminya
(Abul-Hasan
an-Nuri)
Syah Naqshband qs adalah Samudra
Ilmu yang tak bertepi. Ombaknya dianyam oleh mutiara Ilmu Ilahi. Beliau
menjernihkan kemanusiaan dengan Samudra Kemurnian dan Kesalehan. Beliau
melepaskan dahaga jiwa dengan air yang berasal dari dukungan spiritualnya.
Seisi dunia, termasuk samudra dan benua, berada dalam genggamannya. Beliau
adalah bintang yang berhiaskan Mahkota Petunjuk. Beliau mensucikan seluruh jiwa
manusia tanpa kecuali dengan nafas sucinya.
Beliau menghiasi bahkan setiap sudut
yang sulit terjangkau dengan rahasia dari Muhammadun Rasul-Allah sallallahu
alayhi wassalam. Cahayanya menembus setiap lapisan ketidakpedulian.
Keluarbiasaannya melahirkan bukti
terhempasnya asa tertepis dari keraguan hati kemanusiaan. Keajaibannya yang
penuh kekuatan membawa kehidupan kembali ke dalam hati setelah kematiannya dan
menyiapkan jiwa-jiwa dengan perbekalan mereka bagi kehidupan spiritual di masa
mendatang. Beliau terpelihara di Maqam Busur Perantara tatkala beliau masih
dalam buaian.
Beliau menghisap nectar ilmu ghaib
secara terus-menerus dari Cangkir Makrifat (Realitas). Jika Muhammad saw
bukanlah Rasul yang terakhir, mungkin beliau akan menjadi Rasul. Segala Puji
bagi Allah swt yang telah mengirimkan seorang mujaddid (yang menghidupkan agama
Islam). Beliau mengangkat hati manusia, menyebabkan mereka mengangkasa ke
langit spiritual. Beliau membuat raja-raja berdiri di pintunya.
Beliau menyebarkan petunjuknya dari
Utara hingga Selatan, dan dari Timur ke Barat. Beliau tidak meninggalkan
seorang pun tanpa dukungan surgawi, termasuk binatang-binatang liar di rimba
raya. Beliau adalah Ghawts teragung, Busur Perantara, Sultannya para Awliya,
Kalung bagi seluruh mutiara spiritual yang dipersembahkan di alam semesta ini
oleh Hadirat Ilahi. Dengan cahaya petunjuknya, Allah membuat yang baik menjadi
yang terbaik, dan mengubah yang jahat menjadi baik.
Beliau adalah Guru dari thariqat ini
dan Syaikh dari Matarantai Emas serta merupakan pembawa alur Khwajagan yang
terbaik.
Beliau dilahirkan di bulan Muharaam
pada tahun 717 H/1317 M, di desa Qasr al-‘Arifan, dekat Bukhara. Allah
menganugerahkannya kekuatan-kekuatan ajaib di masa kecilnya. Beliau telah diajari
rahasia thariqat ini oleh guru pertamanya, Sayyid Muhammad Baba As-Samasi qs.
Kemudian beliau diberikan rahasia dan kemampuan dari thariqat ini oleh
Syaikhnya, Sayyid Amir al-Kulal qs. Beliau juga merupakan Uwaysi dalam
hubungannya dengan Rasulullah saw, karena beliau dibesarkan dalam hadirat
spiritual Abdul Khaliq al-Ghujdawani qs, yang telah mendahuluinya selama 200
tahun.
Awal
Mula dari Bimbingannya dan
Bimbingan
Dari Awal Mulanya
Syah Naqsyband qs berumur delapan
belas tahun ketika beliau dikirim kakeknya ke kampung Samas untuk melayani
Syaikh thariqat, Muhammad Baba as-Samasi qs, yang telah memintanya. Dari awal
persahabatannya dengan Syaikh tersebut, Beliau melihat anugerah yang tak
terhitung di dalam dirinya, dan kebutuhan yang amat sangat akan kesucian dan
ibadah. Dari masa mudanya, beliau bercerita,
Aku akan bangun lebih awal, tiga jam
sebelum shalat Fajar, berwudhu, dan setelah melaksanakan shalat sunnah, Aku
akan bersujud, memohon pada Tuhan dengan do’a berikut, ‘Wahai Tuhanku, berilah
hamba kekuatan untuk menjalankan kesulitan –kesulitan dan rasa sakit dari
Cinta-Mu.’ Lalu Aku akan shalat Fajar bersama dengan Syaikh.
Ketika beliau keluar, suatu hari
beliau melihat ke arahku dan berkata, seolah-olah beliau telah bersamaku ketika
Aku berdo’a tadi, ‘Wahai anakku, kau harus mengubah cara berdo’amu. Daripada
berkata, ‘Ya Allah swt! Anugerahkanlah ridha-Mu pada hamba yang lemah ini.’
Tuhan tidak senang hamba-Nya berada dalam kesulitan. Walau Tuhan dalam
Kearifan-Nya mungkin memberikan kesulitan pada hamba-Nya untuk mengujinya, sang
hamba tak boleh meminta untuk berada dalam kesulitan. Hal ini berarti tidak
menghormati Tuhanmu.’
Ketika Syaikh Muhammad Baba
as-Samasi qs wafat, kakekku membawaku ke Bukhara dan Aku menikah di sana. Aku
tinggal di Qasr al-‘Arifan, yang merupakan pemeliharaan yang khusus dari Allah
swt bagiku, karena Aku menjadi dekat dengan Sayyid Amir Kulal qs. Aku tinggal
dan melayaninya, dan beliau mengatakan padaku bahwa Syaikh Muhammad Baba
as-Samasi qs telah berkata jauh hari sebelumnya bahwa, ‘Aku tak akan senang
denganmu bila engkau tidak memeliharanya dengan baik.’
Suatu hari, Aku duduk bersama
seorang teman, dalam pengasingan (khlwat), tiba-tiba langit terbuka dan suatu
pemandangan yang agung datang padaku dan Aku mendengar sebuah suara yang
berkata, ‘Tidaklah cukup bagimu meninggalkan setiap orang dan datang ke Hadirat
Kami sendirian saja?’ Suara ini membuatku gemetar dan lari dari rumah itu. Aku
berlari ke sebuah sungai di mana Aku lalu menyeburkan diri.
Aku mencuci pakaianku lalu shalat
dua rakaat dengan cara yang belum pernah Aku lakukan sebelumnya, Aku merasa
seolah-olah sedang shalat dalam Hadirat-Nya. Segalanya begitu terbuka ke dalam
hatiku dalam bentuk tanpa sekat (kashf). Seluruh semesta lenyap dan Aku tak
menghiraukan apa pun kecuali berdo’a ke Hadirat-Nya.
Di awal keadaan ketertarikanku, Aku
pernah ditanya, ‘Mengapa engkau ingin memasuki Jalan ini?’ Aku menjawab, ‘Agar
apa pun yang Aku katakan dan Aku kehendaki akan terjadi.’ Aku dijawab, ‘Itu
mustahil. Apa pun yang Kami katakan dan apa pun yang kami kehendaki, itulah
yang akan terjadi.’
Dan aku berkata, ‘Aku tak bisa
melakukan hal itu. Aku harus diizinkan untuk berkata dan untuk melakukan apapun
yang Aku suka, atau, Aku tak menginginkan Jalan ini.’ Lalu Aku menerima jawabannya,
‘Tidak bisa. Apapun yang Kami kehendaki untuk dikatakan dan apapun yang Kami
kehendaki untuk terjadi pastilah terucapkan dan terjadi.’ Lalu Aku berkata lagi
‘ Apa pun yang Aku katakan dan apa pun yang Aku kerjakan itulah yang pasti
terjadi.’
Dan Aku berkata, ‘Aku tak bisa
melakukan hal itu. Aku harus diizinkan untuk berkata dan untuk melakukan apapun
yang Aku suka, atau, Aku tak menginginkan Jalan ini.’ Lalu Aku menerima
jawabannya, ‘Tidak bisa. Apapun yang Kami kehendaki untuk dikatakan dan apapun
yang Kami kehendaki untuk terjadi pastilah terucapkan dan terjadi.’ Lalu Aku
berkata lagi ‘ Apa pun yang Aku katakan dan apa pun yang Aku kerjakan itulah
yang pasti terjadi.’
Kemudian Aku pun ditinggalkan
sendirian selama lima belas hari, hingga Aku menderita depresi yang luar biasa.
Kemudian Aku mendengar sebuah suara, ‘Wahai Baha’uddin qs, apapun yang kau
inginkan, akan Kami kabulkan.’ Aku amat bergembira. Aku berkata, ‘Aku ingin
diberi sebuah thariqat yang akan memimpin siapa pun yang berjalan di atasnya akan
langsung menuju ke Hadirat Illahi.’ Dan Aku melihat suatu pemandangan yang
agung dan sebuah suara berkata, ‘Apa yang kau minta, telah dikabulkan.’
Kemajuan
dan Perjuangannya dalam Thariqat
Syah Naqshband qs menyatakan, “Suatu
saat Aku sedang mengalami ekstase dan tanpa akal pikiran (tidak sadar),
berpindah dari sini ke sana, tak menyadari apa yang tengah kulakukan. Kakiku
robek dan berdarah karena duri pada saat gelap. Aku merasa diriku ditarik ke rumah Syaikhku, Sayyid Amir Kulal qs.
Saat itu malam sungguh gelap tanpa
bulan dan bintang. Udara amat dingin dan Aku tak memiliki apapun kecuali sebuah
jubah kulit yang sudah usang. Ketika Aku tiba di rumahnya, Aku menemukan beliau
sedang duduk bersama para sahabatnya.
Ketika beliau melihatku, beliau
berkata kepada para pengikutnya, ‘Bawa dia keluar, Aku tak menginginkan dia
berada di rumahku.’ Mereka lalu mengeluarkan aku dan Aku merasakan ego berusaha
menguasaiku, mencoba meracuni kepercayaanku kepada Syaikhku. Pada saat itu
hanya Perlindungan Allah swt dan Rahmat-Nya-lah satu-satunya pendukungku dalam
menerima penghinaan ini Demi Allah swt dan demi Syaikhku.
Lalu aku berkata pada egoku, ‘Aku
tak memperkenankanmu untuk meracuni kepercayaanku terhadap Syaikhku. ‘Aku
begitu lelah dan tertekan sehingga Aku merendahkan hati di depan pintu
kesombongan, meletakkan kepalaku di bawah pintu rumah guruku, dan bersumpah
dengan Nama Allah bahwa Aku tak akan pindah sampai beliau menerimaku kembali.
Salju mulai turun dan udara yang begitu dingin menembus tulangku, membuatku
gemetar dalam gelapnya malam. Bahkan cahaya rembulan pun tak ada untuk sedikit
membuatku merasa nyaman.
Aku ingat keadaan tersebut, hingga
Aku membeku. Namun cinta akan pintu Ilahi Syaikhku yang ada dalam hatiku,
membuatku tetap hangat. Subuh pun datang dan Syaikhku keluar dari pintu tanpa
melihatku secara fisik. Beliau mengajak kepalaku, yang masih berada di bawah
pintunya. Merasakan adanya kepalaku, dengan segera beliau menarik kakinya,
membawaku ke dalam rumahnya dan berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, kau telah
dihiasi dengan pakaian kebahagiaan. Kau telah dihiasi dengan pakaian Cinta
Ilahi. Kau telah dihiasi dengan pakaian yang tidak pernah Aku dan Syaikhku
kenakan.
Allah swt senang denganmu,
Rasulullah saw senang denganmu, semua Syaikh dari Matarantai Emas senang
denganmu.’ Kemudian dengan telaten dan sangat hati-hati beliau mencabuti
duri-duri dari kakiku dan membasuh lukaku. Pada saat yang sama beliau
menuangkan ilmu pada hatiku yang tak pernah Aku alami sebelumnya. Hal ini
membukakan suatu pandangan di mana Aku melihat diriku memasuki rahasia
Muhammadun Rasul-Allah saw. Aku melihat diriku melalui rahasia ayat yang
merupakan Haqiqa Muhammadiyya (Realitas Muhammad saw).
Hal ini mengantarkanku aku untuk
memasuki rahasia dari LA ILAHA ILLALLAH yang merupakan rahasia dari wahdaniyyah
(Keunikan Allah). Hal ini lalu mengantar aku untuk memasuki rahasia Asma’ Allah
dan Atribut-Nya yang dinyatakan dengan rahasia ahadiyya (Ke-Esa-an Allah).
Keadaan-keadaan tersebut tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, hanya dapat
diketahui lewat rasa di dalam hati.
Di awal perjalananku di thariqat
ini, Aku biasa berkeliaran di malam hari dari satu tempat ke tempat lainnya di
pinggiran kota Bukhara. Sendirian di gelapnya malam, khususnya di musim dingin,
Aku mengunjungi pemakaman untuk memetik pelajaran dari yang telah meninggal.
Suatu malam Aku dibimbing untuk mengunjungi nisan Syaikh Ahmad al-Ajgharawa qs
dan membacakan al-Fatihah baginya.
Ketika Aku tiba, Aku menemukan dua
orang yang belum pernah kutemui sebelumnya. Mereka menungguku dengan seekor
kuda. Mereka menaikkan aku ke atas kuda dan mengikatkan dua bilah padang di
sabukku. Ketika kami tiba, kami semua turun dan memasuki makam dan masjid
Syaikh tersebut. Aku duduk menghadap qiblat, tafakur, dan menghubungkan hatiku
dengan hati Syaikh itu.
Selama proses meditasi tersebut
sebuah pandangan terbuka padaku dan Aku melihat dinding yang menghadap qiblat
tiba-tiba runtuh. Sebuah singgasana raksasa muncul. Seseorang yang tinggi besar
dan tak dapat dilukiskan dengan kata-kata sedang duduk di singgasana itu. Aku
merasa mengenalnya. Kemanapun Aku palingkan wajah di semesta ini yang kulihat
adalah orang itu. Di sekelilingnya terdapat kerumunan besar yang terdiri dari
Syaikh-Syaikhku, Syaikh Muhammad Baba as-Samasi qs dan Sayyid Amir Kulal qs.
Kemudian Aku merasa takut dengan
orang yang tinggi besar itu sementara pada saat yang bersamaan Aku juga
merasakan cinta terhadapnya. Aku memiliki ketakutan akan kehadirannya yang
makin besar dan cinta kasih akan kecantikan dan pengaruhnya. Aku berkata pada
diriku sendiri, ‘Siapa gerangan manusia agung ini?” Aku mendengar sebuah suara
di antara orang-orang di kerumunan itu berkata. ‘Orang agung yang membesarkanmu
di jalan spiritualmu ini adalah Syaikhmu. Dia melihat jiwamu manakala masih
berupa atom di Hadirat Illahi.
Kau telah berada dalam pelatihannya
selama ini. Dialah Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani qs dan kerumunan yang
sedang kau lihat itu adalah khalifah yang membawa rahasia agungnya, rahasia
Matarantai Emas.’ Kemudian Syaikh tersebut mulai menunjuk kepada masing-masing
Syaikh seraya berkata, ‘Yang ini Syaikh Ahmad qs, ini Kabir al-Awliya qs, ini
‘Arif Riwakri qs, ini Syaikh Ali Ramitani qs, yang ini Syaikhmu, Muhammad Baba
as-Samasi qs, yang semasa hidupnya memberikan jubahnya untukmu. Apakah kau
mengenalnya?” ‘Ya’, kataku.
Kemudian beliau berkata kepadaku,
‘Jubah itu, yang dia berikan kepadamu beberapa saat silam sekarang masih ada di
rumahmu, dan dengan berkata Allah telah menyembuhkan banyak penderitaan dalam
hidupmu.’ Lalu suara lain datang dan berkata, Syaikh yang berada di singgasana
itu akan mengajarimu sesuatu yang kau perlukan selama berjalan lewat jalan
ini.’ Aku bertanya apakah mereka akan mengizinkan Aku untuk bersalaman
dengannya. Mereka mengizinkannya dan membuka hijab-nya (sekat) dan aku pun
mengambil tangannya. Kemudian beliau mengambil tangannya. Kemudian beliau mulai
menceritakan tentang suluk (perjalanan), awal, pertengahan dan akhirnya.
Beliau berkata, ‘Kau harus membenahi
sumbu yang ada dalam dirimu sehingga cahaya dari yang tak terlihat dapat
dikuatkan dalam dirimu dan rahasia-rahasianya dapat terlihat. Kau harus
memperlihatkan ketetapanmu dan kau harus kukuh dalam syari’ah Rasulullah saw
dalam setiap keadaanmu. Kau harus “menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada
yang munkar” (QS 3:110, 114) dan tetap pada standar tertinggi dari syari’ah dan
meninggalkan kemudahan-kemudahan, dan menyingkirkan penemuan baru dalam segala
bentuknya (bid’ah), dan buatlah al-Hadits sebagai qiblatmu.
Kau harus menyelidiki kehidupannya (sirah)
dan sirah para sahabatnya, dan membuat orang untuk mengikuti dan membaca
al-Qur’an baik siang maupun malam, serta melaksanakan shalat dengan segala
ibadah tambahannya (nawafil). Jangan abaikan hal sekecil apapun dari kebaikan
dan perbuatan-perbuatan mulia yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah saw.’
Begitu Abdul Khaliq qs selesai,
khalifahnya berkata padaku, ‘Agar yakin akan kebenaran pandangan ini, beliau
mengirimkan suatu tanda bagimu. Besok, pergi dan kunjungilah Maulana Syamsuddun
al-Ambikuti qs, yang akan menghakimi dua orang. Katakan padanya, ‘Kau mencoba
membantu si Saqqa, namun kau salah. Perbaikilah dirimu dan bantulah si Turki.’
Bila si Saqqa menyangkal apa yang kau katakan, dan si hakim terus membela si
Saqqa, katakan padanya, ‘Aku memiliki dua bukti. Yang pertama harus bilang pada
si Saqqa, ‘Wahai Saqqa, engkau sedang dahaga.’ Dia akan mengerti apa arti
dahaga itu.
Sebagai bukti kedua, kau harus
bilang kepada si Saqqa, ‘Kau telah meniduri seorang wanita dan dia menjadi
hamil, dan kau telah memiliki bayi yang telah digugurkan, dan kau kuburkan bayi
itu di bawah pohon pinus.’ Dalam perjalananmu menuju Maulana Syamsuddin qs,
bawalah tiga butir kismis dan lewati Syaikhmu, Sayyid Amir al-Kulal qs. Dalam
perjalananmu menuju beliau kau akan bertemu dengan seorang Syaikh yang akan
memberimu sebantal roti. Ambillah rotinya dan jangan bicara sepatah kata pun
dengan Syaikh tersebut.
Lanjutkan hingga kau menemukan
sebuah caravan. Seorang petarung akan mendekatimu. Nasihati dan dekati dia
kembali. Dia akan menyesal dan akan menjadi salah seorang pengikutmu, Kenakan
topimu dan bawa jubah Azizan kepada Sayyid Amir Kulal qs.’
Setelah itu mereka memindahkan aku
dan pandangan itu pun berakhir. Aku kembali pada diriku sendiri. Hari
berikutnya Aku pulang ke rumahku dan bertanya kepada keluargaku tentang jubah
yang telah disebutkan dalam pandangan itu. Mereka membawanya ke hadapan ku dan
berkata, ‘Ini telah ada di sana sejak lama sekali.’ Ketika melihat jubah itu
keharuan yang mendalam melandaku. Aku mengambil jubah itu dan pergi ke desa
Ambikata, di pinggiran Bukhara, menuju masjid Maulana Syamsuddin qs.
Lalu aku mengajak orang-orang yang
berada di masjid itu untuk pergi ke pohon pinus yang ada di dekat masjid.
Mereka menurut dan menemukan seorang anak terkubur di sana. Si Saqqa lalu
datang dan menangis serta memohon maaf atas apa yang telah dia perbuat, namun
semuanya telah berakhir. Maulana Syamsuddin qs dan orang lain yang berada di
masjid itu benar-benar terkejut.
Aku bersiap untuk melakukan
perjalanan keesokan harinya ke kota Naskh dan telah memegang ketiga kismis
kering. Maulana Syamsuddin qs mencoba menahan ku dengan berkata: “aku sedang
melihat dalam dirimu ada penyakit karena merindukan kami dan hasrat yang
membara untuk menggapai Ilahi. Penyembuh mu berada di tangan kami.” Aku
menjawabnya, “Wahai Syaikhku, aku adalah anak dari orang lain dan aku adalah
pengikutnya. Bahkan bila kau tawarkan untuk merawat ku dengan susu maqam yang
lebih tinggi, aku tak dapat menerimanya, kecuali dari seseorang yang kepadanya
aku berikan hidupku dan dari padanya.
Aku mengambil bay’at.’ Kemudian
beliau terdiam dan mengizinkan aku untuk melanjutkan perjalanan. Aku bergerak
seperti yang telah diperintahkan hingga aku bertemu dengan Syaikh itu dan dia
memberiku sebantal roti. Aku tidak bicara dengannya. Aku mengambil rotinya
seperti yang diperintahkan. Kemudian aku menemukan sebuah karavan. Mereka
bertanya dari mana aku berasal. Aku bilang ‘Ambilkata!’ Mereka bertanya kapan
aku berangkat. Aku bilang, ‘pada saat matahari terbit.’ Mereka terkejut dan
berkata, ‘Desa itu bermil-mil jauhnya dan aku membutuhkan waktu yang sangat
lama untuk menempuh jarak itu.
Kami meninggalkan desa itu tadi
malam dan kau di saat matahari terbit, namun kau telah menyusul kami.’
Aku melanjutkan (perjalanan) hingga aku bertemu dengan seorang tukang kuda. Dia
menyapaku, ‘Siapa kau?’ aku takut kepadamu!’ aku bilang, ‘Di tanganku lah kau
akan bertobat.’ Dia lalu turun dari kudanya, menunjukkan seluruh kerendahannya
di hadapanku dan bertobat dan melemparkan seluruh botol anggur yang dibawanya.
Di menemaniku menemui Syaikhku, Sayyid Amir Kulal qs.
Ketika aku menemuinya, aku
menyerahkan jubah kepadanya. Beliau terdiam untuk beberapa saat dan kemudian
beliau berkata, ‘Ini adalah jubah Azizan. Aku diberitahu tadi malam bahwa kau
akan membawanya kepadaku, dan aku telah diperintahkan untuk menyimpannya dalam
sepuluh lapisan penutup.’ Lalu beliau menyuruhku untuk memasuki ruangan
pribadinya. Beliau mengajariku dan menempatkan dzikir khafa di dalam hatiku.
Beliau memerintahkan aku untuk memelihara dzikir itu siang dan malam.
Sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Shaykh ‘Abdul Khaliq al Ghujdawani qs
dalam pandangan itu untuk berketetapan pada cara yang sulit, maka aku
memelihara dzikir khafa yang merupakan bentuk dzikir tertinggi.
Sebagai tambahan, aku biasa
menghadiri kumpulan murid-murid luar untuk belajar ilmu syariah dan al-Hadist,
dan belajar mengenai sifat-sifat Rasulullah saw dan para Sahabatnya. Aku
melakukannya karena pandangan itu menyuruhku demikian, dan hal ini menyebabkan
perubahan besar dalam kehidupanku. Semua yang diajarkan Shaykh Abdul Khafi
al-Ghujdawani qs dalam pandangan itu melahirkan buah yang diberkahi dalam
kehidupanku. Rohnya selalu menemani dan mengajariku.
Tentang
Dzikir Zahar Dan Dzikir Khafa
Disebutkan dalam kitab al-Bahjat
as-Saniyya bahwa dari masa Mahmoud al-Faghnawi qs hingga masa Sayyid
Amir al-Kulal qs mereka terbiasa melakukan dzikir zahar (dengan suara keras)
pada saat berkumpul dan dzikir khafa (dalam hati) bila sedang menyendiri. Namun
ketika Syah Baha’uddin Naqsyband qs menerima rahasianya, beliau hanya
menjalankan dzikir khafa.
Walaupun pada saat berasosiasi
dengan sayyid Amir Kulal qs, bila mereka mulai berdzikir zahar, beliau biasanya
beranjak dan pergi ke kamarnya untuk mengerjakan dzikir khafa. Namun beliau
tetap melayani Syaikhknya sepanjang usianya.
Suatu hari, saat Shaykh Baha’uddin
qs dan semua pengikut Sayyid Amir Kulal qs sedang beristirahat
dari pekerjaan membangun sebuah masjid yang baru, Sayyid Amir Kulal qs berkata,
‘Barang siapa yang memiliki prasangka buruk tentang anakku baha’uddin qs, dia
adalah salah. Allah telah menganugerahinya suatu rahasia yang belum pernah
diberikan kepada siapapun sebelumnya. Bahkan aku pun tak mampu untuk
mengetahuinya.’ Beliau lalu berkata padanya,
Wahai anakku, aku telah memenuhi
wasiat dan nasehat Shaykh Muhammad Baba as-Samasi qs ketika beliau
menyuruhku untuk membesarkanmu dan merawatmu dalam jalan latihanku hingga
engkau menjadi lebih baik dari padaku. Hal ini telah ku kerjakan, dan engkau
telah memiliki kapasitas untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi dan tinggi lagi. Jadi, anakku tercinta, saat ini aku sepenuhnya
mengizinkan engkau untuk pergi ke mana pun yang engkau hendaki dan untuk
mendapatkan ilmu dari siapapun yang engkau temui.
Tentang
Shaykh-Shaykh Berikutnya
Suatu saat aku mengikuti Maulana
‘Arif ad-Dik Karrani qs selama tujuh tahun. Kemudian aku mengikuti Maulana
Kuthum shaykh qs selama beberapa tahun lamanya. Suatu malam aku tertidur di
hadapan shaykhku dan aku menemui shaykh al-Hakim ‘Attar qs, salah seorang
shaykh yang termashur dari Turki, menyampaikan sesuatu kepada seorang
darwis yang bernama Kahalil Ghibrani qs. Ketika aku terbangun,
gambaran darwis itu masih melekat di benakku. Aku mempunyai seorang nenek ynag
solehah, kepadanyalah aku menyampaikan mimpiku itu.
Nenekku berkata, ‘Wahai anakku,
engkau akan mengikuti banyak Shaykh berkebangsaan Turki.’ Jadi dalam perjalanan
ku , aku menyinggahi shaykh- shaykh dari Turki dan aku tak pernah melupakan
gambaran darwis yang satu itu. Lalu suatu hari di kampung halaman ku sendiri di
Bukhara, Aku melihat seorang darwis dan aku mengenalinya sebagai orang yang aku
temui dalam mimpi itu. Aku menanyakan namanya kepada beliau, dan beliau
menjawab, ‘Aku adalah Kahlil Ghibrani qs.’
Aku harus meninggalkannya, namun
begitu berat rasanya. Pada saat magrib seseorang mengetuk pintuku. Aku menjawab
dan seorang tak dikenal berkata, ‘Darwis kahlil Gibrani qs sedang menantimu.’
Aku begitu terperanjat. Bagaimana orang itu telah menemukanku? Aku membawa
sebuah hadiah, dan pegi bersamanya. Ketika aku sudah berada di hadapannya, aku
lalu menceritakan mimpi itu. Beliau berkata, ‘Tak perlu kau ceritakan mimpi itu
karena aku sudah tahu.’ Hal ini lebih melekatkan hatiku kepada beliau, Bersamanya,
beberapa pengetahuan gaib yang baru, dibukakan ke dalam hatiku.
Beliau selalu merawat ku, memuji ku,
dan mengangkatku. Penduduk Transoxiana menempatkan beliau sebagai raja mereka.
Aku terus menemani beliau, walau dalam masa kesultanannya. Hatiku tumbuh dalam
cinta kepada beliau lebih dan lebih lagi dan hatinya telah mengangkatku ke
pengetahuan yang lebih tinggi lagi. Beliau mengajariku bagaimana caranya untuk
melayani seorang Shaykh aku bersamanya selama enam tahun. Baik dihadapannya
maupun dalam do’a, aku selalu menjaga hubungan dengan beliau.
Di awal perjalanan ku di thariqat
ini, aku bertemu dengan seorang Sufi, dan dia berkata, ‘Sepertinya kau berasal
dari kami’ aku berkata kepadanya, ‘Aku berharap kau berasal dari kami dan aku
berharap dapat menjadi temanmu.’ Suatu saat dia bertanya kepadaku, ‘bagaimana
kau memperlakukan dirimu sendiri?’ aku menjawab, ‘Bila aku menemukan sesuatu
aku bersyukur
kepada Allah, dan bila tidak, aku bersabar.’ Dia tersenyum dan berkata, ‘Itu
mudah caranya bagimu adalah dengan membebani egomu dan mengujinya. Bila dia
kehilangan makanan selama seminggu, kau harus mampu untuk menjaganya untuk
mematuhimu.’
Aku amat berbahagia dengan
jawabannya dan aku meminta dukungannya. Dia menyuruhku untuk membantu yang
memerlukan dan untuk melayani yang lemah dan untuk membesarkan hati orang yang
putus asa. Dia menyuruhku untuk menjaga kerendahan, ketawadhu-an dan tenggang
rasa. Aku menjaga perintah-printahnya dan aku habiskan berhari-hari dalam
hidupku dengan cara seperti itu. Kemudian dia memerintahkan aku untuk merawat
binatang, menyembuhkan penyakitnya, membasuh luka-lukanya, dan membantu meeka
untuk menemukan persediaan makanan dan minumnnya. Aku menjalankannya hingga aku
mencapai suatu keadaan dimana bila aku bertemu binatang di jalanan, maka aku
akan berhenti, dan memberikan mereka jalan.
Kemudian dia menyuruhku untuk
memelihara anjing-anjing melalui penyatuan pikiran dengan penuh kejujuran dan
kerendahan, dan meminta bantuan mereka. Dia mengatakan, ‘Karena pelayanan mu
terhadap salah satu dari mereka, maka engkau akan mencapai kebahagiaan yang
sangat.’ Aku terima perintah tersebut dengan harapan bahwa aku akan
menemukan satu anjing dan melalui pelayanan terhadapnya, aku akan menemukan
kebahagiaan itu.
Suatu hari pikiranku menyatu dengan
salah satu dari mereka dan aku merasakan kebahagiaan yang amat sangat. Aku
mulai menangis di hadapannya hingga hingga dia terlentang dan menengadahkan
kaki depannya ke langit. Aku mendengar sebuah suara yang
amat sedih yang berasal darinya lalu aku pun menengadahkan tangan, berdo’a
dan mulai mengatakan ‘amin’ mendukung doa’a hinga akhirnya dia tidak bersuara
lagi. Yang kemudian terbuka padaku adalah suatu pandangan yang membawa ku pada suatu
keadaan dimana aku merasa menjadi bagian dari setiap manusia dan juga bagian
dari setiap makhluk di muka bumi ini.
Suatu hari aku sedang berada di
kebunku di Qasr al-Arifan, mengenakan jubah Azizan dan di sekitar ku terdapat
para pengikut ku. Tiba-tiba aku merasa di sandangkan dan dihiasi dengan
Atribut-Nya.
Belum pernah aku segemetar ini
sebelumnya, dan aku tak kuat lagi berdiri. Aku berdiri. Aku berdiri menghadap
kiblat dan aku memasuki pandangan agung. Aku melihat diriku melebur (fana’)
sepenuhnya dan aku tak lagi melihat wujud lain melainkan Tuhanku, lalu aku
melihat diriku keluar dari Hadirat-Nya, memantul lewat cermin Muhammadun
Rasul-Allah saw, dalam bentuk sebuah binatang di tengah samudra Cahaya tanpa
awal dan akhir.
Kehidupan eksternalku berakhir dan
aku hanya melihat makna dari LA ILAHA ILLALLAH MUHAMMADUN RASUL-ALLAH saw. Ini
membawaku kepada makna yang inti sari Nama ‘Allah’ yang membawaku kepada Yang
Maha Gaib, yakni inti sari dari Asma Huwa (Dia). Ketika aku memasuki samudra
itu jantungku berhenti berdetak dan seluruh hidupku pun berakhir, maka
mengantarku kepada keadaan kematian.
Ruh ku meninggalkan jasad ku, dan
semua yang ada di sekelilingku saat itu berfikir bahwa aku telah meninggal, dan
mereka pun menangis. Kemudian setelah enam jam, aku diperintahkan untuk kembali
kepada jasadku. Aku merasakan ruhku perlahan memasuki jasadku kembali dan
pandangan itu pun berakhir.
Untuk menyangkal keberadaanmu dan
untuk mengacuhkan dan mengabaikan egomu adalah yang berlaku dalam thariqaat
ini. Dalam keadaan ini aku memasuki setiap tingkat keberadaan, yang membuatku
menjadi bagian dari semua makhluk dan yang mengembangkan keyakinan dalam diriku
bahwa setiap orang lebih baik dari pada aku sendiri. Aku melihat bahwa setiap
orang menyediakan sesuatu manfaat dan hanya Akulah yang tak
memberikannya.
Suatu hari sebuah keadaan yang amat
mencengangkan terjadi kepadaku. Aku mendengarkan suara Ilahi berkata, ‘Mintalah
apapun ynag kau suka dari kami.’ Lalu aku memohon, ‘Ya Allah swt, Anugerahilah
aku dengan setetes dari samudra rahmat dan berkah-Mu.’ Dan jawabannya datang,
‘Kau hanya memita setetes dari ke-Maha Pemurahan Kami?’
Hal ini laksana jutaan tamparan
keras di wajahku dan sengatannya tersisa di pipiku selama berhari-hari. Kemudian
suatu hari aku berkata, ‘Ya Allah swt anugerahilah hamba dari samudra rahmat
ini adalah untukku. Berikanlah dia kepada hamba-hamba ku.’
Aku menerima rahasia dari beberapa
sisi, khususnya dari Uwais al-Qaran ra, yang amat mempengaruhi aku untuk
meninggalkan hal-hal duniawi dan untuk melekatkan diri hanya pada hal-hal
rohaniah.
Aku menjalankannya dengan tetap
berpegang teguh pada Syari’ah dan perintah Rasulallah saw, hingga aku mulai
menyebarkan pengetahuan –pengetahuan Ghaib dan rahasia-rahasia yang di anugerahkan
dari Yang Maha Esa yang belum pernah diberikan oleh siapapun sebelumnya.
Keajaiban
dari Perkataan-Perkataannya dan Perkataan-Perkataan Tentang Keajaibannya
Imam
at-Thariqah Syaikh Bahaudin Naqsbandi
Muhammadinil
Uwaysiyil Bukhari qs
Tentang
Perbedaan Di antara Imam-Imam
Dalam suatu majelis ulama-ulama
besar di Baghdad beliau ditanya tentang perbedaan-perbedaan dalam perkataan
keempat khalifah Rasulullah saw/ Beliau berkata,
Suatu ketika Abu Bakar ash-Shiddiq
ra berkata, ‘Aku tak pernah melihat sesuatu pun, kecuali Allah berada di
depannya,’ dan Umar al-Faruq ra berkata, ‘Aku tak pernah melihat sesuatu pun,
melainkan Allah selalu berada di belakangnya.’ Dan Utsman ra berkata, ‘Aku
tidak pernah melihat sesuatu pun, melainkan Allah berada disampingnya,’ dan
‘Ali ra berkata, ‘Aku tidak pernah melihat sesuatu pun melainkan Allah swt
berada di dalamnya.’
Beliau mengomentari bahwa, perbedaan
dalam perkataan-perkataan ini didasarkan pada perbedaan situasi pada saat
mereka berkata-kata dan bukannya perbedaan dalam kepercayaan dan pemahaman.
Tentang
Berjalan dalam Jalur ini
Apakah di balik cerita Rasululah
saw, ‘Sebagian dari iman adalah memindahkan apa-apa yang membahayakan dari
Jalan?’ Yang beliau maksud dengan ‘yang membahayakan’ itu adalah ego, dan yang
Beliau maksud dengan ‘Jalan’ adalah Jalan Menuju Allah swt, sebagaimana Dia
berfirman kepada Bayazid al-Bistami qs, ‘Tinggalkan egomu dan datanglah pada
Kami.’
Suatu ketika beliau ditanya, “Apa
yang dimaksud dengan Berjalan dalam Jalur?” Beliau berkata, “Detailnya dalam
pengetahuan spiritual.” Mereka bertanya, “Apakah
detail dalam pengetahuan spiritual itu?” Beliau menjawab; Orang yang mengetahui dan menerima apa yang dia ketahui akan
diangkat dari keadaan bukti nyata kepada keadaan penglihatan. Barang siapa yang
meminta untuk berada di Jalan Allah maka dia telah meminta jalan penderitaan.
Diriwayatkan oleh Rasulullah saw, ‘Barang siapa yang mencintaiku maka aku akan
membebaninya.’ Seseorang datang kepada Rasulullah saw dan
berkata, ‘Wahai Nabi saw, Aku mencintaimu,’ dan Nabi saw berkata, ‘Maka
bersiaplah untuk menjadi miskin.’ Lain waktu orang lain lagi datang kepada
Rasulullah saw dan berkata, ‘Ya, Rasulullah saw, Aku mencintai Allah,’ dan
Rasulullah saw berkata, ‘Maka siapkanlah dirimu untuk
penderitaan.’ Beliau membaca sebuah ayat :
“Setiap
orang mendambakan kebaikan,
Namun
tak seorang pun telah meraih kenaikan,
Melainkan
dengan mencintai Sang Pencipta kebaikan”.
Beliau berkata, “Barang siapa yang
mencintai dirinya sendiri, harus menyangkal dirinya, dan barang siapa yang
menginginkan yang lain selain dirinya sendiri, sesungguhnya yang diinginkannya
hanyalah dirinya sendiri.”
Tentang
Pelatihan Spiritual
Ada tiga jalan di mana murid meraih
pengetahuannya :
Muraqaba – Perenungan (kontemplasi)
Musyahada – Penglihatan
Muhasaba – Penghitungan
Dalam keadaan perenungan, si pencari
melupakan makhluk dan hanya mengingat Sang Khalik saja.
Dalam keadaan penglihatan, ilham
dari Yang Ghaib mendatangi hati suci pencari dengan disertai dua keadaan :
penciutan dan pengembangan.
Pada keadaan penciutan, penglihatan
adalah tentang ke MahaKuasa-an, dan pada keadaan pengembangan penglihatan
adalah tentang Ke-Maha-Indahan.
Pada keadaan penghitungan, si
Pencari mengevaluasi setiap jam yang telah lewat : apakah dia berada seluruhnya
bersama Allah ataukah berada seluruhnya bersama dunia?
Si pencari dalam thariqat ini
pastilah amat sibuk menolak bisikan Setan dan godaan egonya. Dia mungkin
menolaknya bahkan sebelum mereka mencapainya; atau dia mungkin menolaknya
setelah mereka mencapainya namun sebelum mereka memegang kendali atasnya.
Pencari lain, mungkin saja tidak menolaknya hingga mereka mencapainya dan
mengendalikannya. Dia tak akan mendapatkan buahnya, karena pada saat seperti
itu adalah mustahil untuk mengeluarkan bisikan-bisikan itu
dari hatinya.
“Bagaimanakah hamba-hamba Allah
melihat perbuatan yang tersembunyi dan bisikan-bisikan hati?” Beliau menjawab,
“Dengan cahaya penglihatan yang dianugerahkan Allah pada mereka, seperti yang
tertera dalam Hadits suci, ‘Waspadalah dengan penglihatan orang-orang yang
beriman, karena dia melihat dengan Cahaya Allah swt.”
Beliau diminta untuk memperlihatkan
kekuatan ajaibnya. Beliau berkata, Keajaiban apakah yang lebih dahsyat
yang ingin kaulihat daripada kenyataan bahwa kita masih berjalan di muka bumi
ini dengan semua dosa di atas dan sekeliling kita.
Beliau ditanya, ‘Siapakah para
pembaca dan siapakah gerangan sang Sufi yang dimaksud oleh Junayd qs, “
Putuskanlah dirimu dari para pembaca kitab-kitab, dan bergabunglah dengan para
Sufi?”
Beliau berkata, ‘Para pembaca adalah
orang yang sibuk dengan kata-kata dan nama-nama, dan Sufi adalah sesorang yang
sibuk dengan inti sari dari nama-nama tersebut.’
Beliau memperingatkan, ‘Bila seorang
murid, seorang Syaikh atau siapa pun bicara tentang suatu keadaan yang belum
didapatkannya, Allah swt akan mencegahnya dari mencapai keadaan tersebut.
Beliau berkata, ‘Cermin dari setiap Syaikh memiliki dua arah. Namun cermin kita
memiliki enam arah.’
Apa yang dimaksudkan dengan
al-Hadits, ‘Aku beserta orang-orang yang mengingat-Ku,’ merupakan bukti nyata
yang mendukung orang-orang yang di dalam hatinya senantiasa mengingat-Nya. Dan
sabda Nabi saw yang lainnya berbicara atas Nama Allah, ‘Puasa itu adalah bagi-Ku’
merupakan suatu pernyataan bahwa sebenar-benarnya puasa adalah puasa dari
segala sesuatu selain Allah swt.
Tentang
Kemiskinan Spiritual
Beliau ditanya, “mengapa mereka
disebut al-fuqora (orang yang miskin)?” Beliau menjawab, “Karena mereka miskin,
namun mereka tak perlu memohon. Seperti halnya Nabi Ibrahim as, ketika beliau
dilemparkan ke dalam api dan Jibril as datang
dan bertanya ‘Apakah kau perlu pertolongan?,’ dijawabnya, ‘Aku tak perlu
meminta sesuatu, Dia Maha Tahu keadaanku.’
Kemiskinan merupakan pertanda
penghancuran dan penghapusan atribut-atribut kebendaan.
Beliau pernah ditanya, ‘Siapakah si
miskin itu?’ Tak seorang pun menjawabnya. Beliau berkata, ‘Si miskin adalah
orang yang di dalamnya selalu berjuang dan di luarnya berada dalam ketenangan.’
Tentang
Adab terhadap Syaikh Seseorang
Amatlah penting bagi para pengikut,
bila dia merasa bingung terhadap apa yang diucapkan atau dilakukan Syaikhnya
dan tak dapat memahami alasannya, untuk bersabar dan menjalankannya, dan tak
menjadi curiga. Bila dia seorang pemula, dia mungkin bertanya namun bila dia
seorang murid, dia tak punya alasan untuk bertanya dan harus tetap bersabar
dengan apa yang belum dia pahami.
Adalah tak mungkin untuk meraih
cinta dari hamba-hamba Allah hingga engkau keluar dari dirimu sendiri.
Dalam
Thariqat, terdapat tiga kategori adab :
Adab karimah terhadap Allah swt yang
Maha Kuasa dan Maha Tinggi, mengharuskan murid untuk menyempurnakan ibadahnya
baik secara eksternal maupun internal, menjauhi semua larangan-Nya dan
menjalankan segala apa yang telah diperintahkan-Nya dan meninggalkan segala
sesuatu selain Allah swt.
Adab karimah terhadap Nabi Muhammad
saw, mengharuskan murid untuk membumbung tinggi pada keadaan yang disebutkan
dalam ayat “in kuntum tuhibbun Allah fattabi’unii”
(bila kamu ingin mencintai Allah, maka ikutilah aku) [3:31]. Dia harus
mengikuti semua keadaan Rasulullah saw. Dia harus tahu bahwa Rasulullah saw
adalah jembatan antara Allah swt dengan makhluk-Nya dan bahwa segala sesuatu di
bumi ini berada di bawah perintahnya yang mulia.
Adab karimah terhadap para Syaikh
merupakan suatu keharusan bagi setiap pencari. Para Syaikh merupakan penyebab
dan alat untuk mengikuti jejak Rasulullah saw. Adalah suatu kewajiban bagi para
pencari, baik dalam kehadiran mereka maupun dalam ketidakhadirannya, untuk
menjalankan perintah-perintah dari Syaikh tersebut.
Suatu saat salah satu pengikutku
memberiku salam. Aku tidak menjawabnya, meskipun merupakan keharusan dalam
Sunnah untuk membalas salam. Hal ini membuat pengikutku tersebut kecewa. AKu
mengirim seseorang kepadanya untuk meminta maaf, berkata kepadanya, ‘Pada saat
itu, ketika engkau memberiku salam, pikiranku, hatiku, jiwaku, ragaku, ruhku
sedang hilang sepenuhnya dalam Hadirat Ilahi, mendengarkan apa yang dikatakan
Allah kepadaku. Hal ini membuatku begitu terpenuhi dalam Firman Allah sehingga
Aku tak mampu membalas siapapun.’
Sangatlah penting untuk meluruskan
niat, karena niat itu dari dunia ghaib, bukan dari dunia materi. Untuk alasan
tersebut, Ibnu Sirin (penulis buku tabir mimpi) tidak berdo’a pada shalat
jenazah Hasan al-Basri qs. Beliau berkata, ‘Bagaimana Aku dapat berdo’a ketika
niatku belum mencapaiku dan menghubungkanku dengan apa yang ghaib?’ Niat
(niyyah) sangat penting, karena dia terdiri atas 3 huruf, yaitu : Nun, yang
melambangkan nur Allah, Cahaya Allah; ya, yang melambangkan yad Allah, Tangan
Allah; dan ha, yang melambangkan hidayat Allah, Bimbingan Allah. Niat adalah
hembusan jiwa.
Tentang
Tugas-Tugas Para Awliya
Allah swt menciptakan aku untuk
menghancurkan kehidupan materialistic, tetapi orang-orang menginginkan aku
untuk membangun kehidupan materialistik mereka.
Hamba-hamba Allah menanggung beban
penciptaan agar semua ciptaan belajar darinya. Allah swt melihat pada hati
Awliya-Nya dengan cahaya-cahaya-Nya, dan siapa pun yang berada di sekeliling
wali itu dia akan mendapat berkah dari cahaya tersebut.
Syaikh harus mengetahui tingkatan
muridnya dalam tiga kategori yaitu di masa lalu, masa kini, dan masa depan agar
dia dapat menaikkan (maqam)-nya.
Siapa pun yang melakukan bay’at
dengan kita dan mengikuti kita dan mencintai kita, apakah dia dekat atau jauh,
di mana pun dia berada bahkan jika dia berada di Timur dan kami di Barat, kami
memeliharanya dengan aliran cinta dan memberinya cahaya dalam kehidupan
sehari-harinya.
Tentang
Dzikir Keras (Zahar) dan Dzikir Dalam Hati (Khafi)
Dari kehadiran al-Azizan ada dua
metode dzikir, yaitu dzikir khafi (dalam hati) dan dzikir zahar (keras). Aku
menyukai dzikir dalam hati karena dia lebih kuat dan lebih bijaksana.
Izin untuk melakukan dzikir harus
diberikan oleh orang yang sempurna, agar bisa mempengaruhi orang yang
menggunakannya sebagaimana halnya panah dari seorang yang ahli memanah lebih
baik daripada panah yang dilepaskan dari busur orang biasa.
Beliau
menambahkan 3 Prinsip ke dalam 8 prinsip Syaikh Abdul Khaliq :
Kesadaran
akan Waktu (Wuquf Zamani)
Kesadaran akan waktu berarti
memperhatikan ketenangan seseorang dan mengecek kecenderungan seseorang kepada
kelalaian. Para pencari harus mengetahui berapa banyak waktu yang dihabiskan
untuk bergerak menuju kematangan spiritual dan harus mengenal
di tempat apa dia telah sampai dalam perjalanannya menuju Hadirat Ilahi.
Para pencari harus membuat kemajuan
dengan segala usahanya. Dia harus menghabiskan seluruh waktunya untuk satu
tujuan yaitu sampai di maqam Cinta
Ilahi dan Hadirat Ilahi. Dia harus menjadi sadar bahwa dalam segala usahanya
dan dalam segala tindakannya Allah menyaksikan sampai sedetail-detailnya. Para
pencari harus membuat catatan mengenai tindakan dan niatnya setiap hari dan
setiap malam dan menganalisa tindakannya setiap jam, setiap detik, dan setiap
saat. Jika semuanya baik, dia bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut. Jika
tindakannya buruk, dia harus bertaubat dan memohon ampun kepada Allah swt.
Ya’qub al-Charki qs berkata bahwa
Syaikhnya, Ala’uddin al-Attar qs berkata,
Dalam keadaan depresi, engkau harus
banyak beristighfar (memohon ampunan Allah), dan dalam keadaan bergembira,
harus banyak bersyukur kepada Allah swt.
Sebagai pertimbangan kedua keadaan
ini, kontraksi (menciut) dan ekspansi (mengembang), adalah arti dari wuquf
zamani.
Syah Naqsyband qs menerangkan
keadaan tersebut dengan berkata, “Engkau harus menjadi awas akan dirimu. Jika
engkau mengikuti syari’ah maka engkau harus bersyukur kepada Allah swt, bila
tidak, maka engkau harus memohon ampun”.
Yang penting bagi seorang pencari
dalam keadaan ini adalah menjaga periode waktu terkecil agar tetap aman. Dia
harus menjaga dirinya dan menilai apakah dia dalam Hadirat Allah atau dalam
hadirat egonya, setiap saat dalam hidupnya. Syah Naqsyband qs berkata, ‘Engkau
harus mengevaluasi bagaimana engkau menghabiskan waktumu : dalam Kehadiran atau
dalam Kelalaian.’
Kesadaran
akan Jumlah (Wuquf ‘Adadi)
Kesadaran akan jumlah berarti para
pencari yang sedang berdzikir harus memperhatikan bilangan dzikir yang tepat
yang diperlukan dalam dzikir khafi. Menjaga hitungan dzikir ini bukan untuk
perhitngan itu sendiri tetapi demi menjaga hati agar tetap aman dari pikiran
buruk dan untuk meningkatkan konsentrasi dalam usaha mencapai jumlah
pengulangan yang telah ditetapkan oleh Syaikh secepat mungkin.
Pilar dzikir melalui perhitungan
adalah untuk membawa hati kepada Hadirat Ilahi yang disebutkan dalam dzikir
tersebut dan tetap menghitung, satu demi satu, untuk membawa perhatian
seseorang kepada realitas bahwa setiap orang membutuhkan Dia Yang Maha Esa yang
tanda-tanda (Kebesaran)-Nya tampak pada setiap makhluk.
Syah Naqsyband qs berkata,
“Memperhatikan jumlah dzikir adalah langkah pertama dalam tahap mendapatkan
Pengetahuan Surgawi (‘ilm ul-ladunni).” Ini berarti perhitungan itu
mengantarkan seseorang untuk mengenali bahwa hanya Satu yang dibutuhkan dalam
hidup. Semua persamaan matematis memerlukan nomor Satu. Semua makhluk
membutuhkan Zat Yang Maha Esa.
Kesadaran
akan Hati (Wuquf Qalbi)
Kesadaran akan hati berarti
mengarahkan hati para pencari menuju Hadirat Ilahi, dimana dia tidak akan
melihat yang lain kecuali Yang Paling Dicintainya. Hal itu berarti untuk mengalami
manifestasi-Nya (tajjali) dalam semua keadaan. Ubayd Allah al-Ahrar qs berkata,
“Tingkat kesadaran Hati adalah tingkatan untuk hadir dalam Hadirat Illahi sedemikian rupa sehingga engkau tidak bisa melihat apa
yang lain selain Dia.”
Dalam situasi demikian seseorang
memusatkan tempat dzikirnya dalam hati sebab inilah pusat kekuatan. Semua
pikiran dan inspirasi, baik maupun buruk, jatuh dan muncul satu demi satu,
berputar dan mengalir, bergerak di antara terang dan gelap, dalam perputaran
yang konstan, di dalam hati. Dzikir diperlukan untuk mengontrol dan mengurangi
gejolak dalam hati.
Makna
dari Ummat Muhammad saw
Syah Naqsyband qs berkata,
“ Ketika Rasulullah saw bersabda, ‘Porsi ummatku yang ditakdirkan untuk api neraka
adalah seperti porsi Ibrahim as yang ditakdirkan untuk api Namrud,’ beliau
memberi kabar gembira tentang penyelematan bagi ummatnya sebagaimana Allah
telah menggariskan penyelematan untuk Ibrahim as, Ya naru kunii bardan wa
salaman ‘ala Ibrahiim (‘Wahai api, jadilah dingin dan jadilah keselamatan bagi
Ibrahim as’) [21:69]. Ini dikarenakan Rasulullah saw bersabda, ‘Ummatku tidak
akan setuju dengan suatu kesalahan,’ menegaskan bahwa Ummat tidak akan menerima
perbuatan yang salah, dan dengan demikian Allah akan menyelematkan ummat
Muhammad saw dari api neraka.”
Syaikh Ahmad Faruqi qs mengatakan
bahwa Syah Naqsyband qs berkata, Ummat Muhammad saw meliputi semua orang yang
muncul setelah Rasulullah saw. Dia terdiri atas 3 macam ummat, yaitu :
Ummatu-d-Da’wah :
Yaitu setiap orang yang benar-benar
muncul setelah Rasulullah saw dan mendengar pesannya. Dari berbagai ayat dalam
al-Quran, sudah jelas bahwa Rasulullah saw datang kepada semua manusia tanpa
kecuali, lebih jauh lagi ummatnya cukup menjadi saksi bagi ummat-ummat yang
lain, dan Rasulullah saw adalah orang yang menjadi saksi bagi setiap orang,
termasuk ummat-ummat yang lain dan saksi-saksi yang mewakili mereka
masing-masing.
1. Ummatu-l-Ijaba :
yaitu orang-orang yang menerima
pesannya.
2. Ummatu-l-Mutaba’a :
Yaitu orang-orang yang menerima
pesan dan mengikuti jejak Rasulullah saw.Semua golongan ummat Rasulullah saw
tersebut akan selamat. Jika mereka tidak diselamatkan melalui amalnya, mereka
akan diselamatkan melalui Perantaraan Rasulullah saw, menurut sabdanya,
‘Perantaraanku adalah untuk para pendosa besar di antara Ummatku.’
Dalam Mencapai Hadirat Ilahi
Beliau berkata,
“Apa yang dimaksud dengan hadits Rasulullah saw, as-shalatu mi’raj ul-mu’min
(‘Shalat adalah mi’raj bagi orang yang beriman’), adalah indikasi yang jelas
mengenai tingkatan Shalat yang sejati, di mana orang-orang yang shalat naik ke
Hadirat Ilahi dan padanya terdapat manifestasi rasa hormat yang mendalam,
kepatuhan dan kerendahan hati, dimana hatinya mencapai keadaan kontemplasi
melalui shalatnya.
Ini akan mengantarkannya kepada
suatu panorama dari Rahasia Ilahi. Itu adalah deskripsi mengenai shalatnya
Rasulullah saw dalam sirah (sejarah hidupnya). Dikatakan
bahwa ketika Rasulullah saw mencapai keadaan tersebut, orang-orang di luar kota
pun dapat mendengar suara yang berasal dari dadanya yang menyerupai dengungan
lebah.
Salah satu ulama di Bukhara bertanya
kepada beliau, “Bagaimana seorang hamba mencapai Hadirat Ilahi dalam
shalatnya?” Beliau menjawab, “Dengan memakan dari hasil jerih payahmu dan
dengan penyucian diri dan dalam setiap peristiwa hidupmu.”
Tentang
Politheisme Tersembunyi – Syirik
Syaikh Salah, seorang pelayannya
melaporkan, Suatu ketika Syah Naqsyband qs berkata kepada para pengikutnya,
‘Suatu hubungan antara hatimu dengan sesuatu selain Allah adalah hijab terbesar
bagi seorang pencari,’ setelah itu beliau membaca bait puisi berikut,
‘Hubungan dengan selain Allah,
‘Adalah hijab (sekat) terkuat,’ Dan meninggalkannya, ‘Adalah Jalan Pembuka bagi
suatu Pencapaian.’
Segera setelah beliau membacakan
bait tersebut, terlintas dalam benakku bahwa baliau merujuk pada hubungan
antara Imam dan penyerahan diri pada Kehendak Illahi.
Beliau menoleh kepadaku, tertawa dan berkata, ‘Apakah engkau tidak mendengar
apa yang dikatakan oleh Hallaj? “Aku menolak agama Allah, dan penolakan itu
adalah wajib bagiku meskipun tampak menyeramkan bagi kebanyakan Muslim.”
Wahai Syaikh Salah, apa yang
terlintas dalam benakmu – bahwa hubungan itu adalah dengan Iman dan Islam –
bukanlah hak yang penting. Yang penting adalah Iman Sejati bagi Orang yang
Benar adalah membuat hatinya menyangkal apapun selain Allah.
Itulah yang membuat Hallaj berkata, “Aku menyangkal agama-Mu dan penyangkalan
itu adalah wajib bagiku, meskipun tampak menyeramkan bagi Muslim.” Hatinya tidak
menginginkan yang lain kecuali Allah swt.
“Tentu saja Hallaj tidak menyangkal
Imannya dalam Islam, tetapi beliau menekankan bahwa hatinya hanya terkait
kepada Allah saja. Jika Hallaj tidak menerima segala sesuatu selain Allah,
bagaimana mungkin orang mengatakan bahwa sebenarnya beliau menyangkal agama
Allah? Pernyataannya tentang realitas Kesaksiannya mencakup segalanya dan
membuat kesaksian Muslim yang awal menjadi mainan anak-anak.’
Syaikh Salah qs melanjutkan, “Sya
Naqsyband qs berkata, ‘Hamba-hamba Allah tidak bangga dengan apa yang mereka
lakukan, mereka melakukannya karena cinta kepada Allah swt.’
‘Rabi’a al-‘Adawiyya qs berkata, “Ya
Allah, Aku tidak beribadah untuk mencari balasan Surga-Mu, tidak pula karena
takut akan siksa-Mu, tetapi Aku menyembah-Mu hanya untuk Cinta-Mu.’ Jika
ibadahmu untuk menyelamatkan dirimu atau untuk mendapat balasan tertentu bagi
dirimu sendiri, maka itu adalah syirik yang tersembunyi, karena engkau telah
menyekutukan Allah baik dengan pahala maupun azab. Inilah yang dimaksud oleh
Hallaj.’
Syaikh Arslan ad-Dimasyqi qs berkata
sebagaimana yang diceritakan oleh Syah Naqsyband qs,” Ya Allah, agama-Mu
bukanlah apa-apa melainkan syirik yang tersembunyi, dan untuk tidak beriman
kepadanya adalah wajib bagi seluruh hamba yang benar. Orang-orang
yang beragama tidak menyembah-Mu, mereka hanya beribadah untuk mendapat Surga
atau agar selamat dari Neraka. Mereka menyembah keduanya sebagai berhala, dan
itulah seburuk-buruknya kemusyrikan”.
“Engkau telah berkata, man yakfur
bi-t-taghuti wa yu’min billahi faqad istamsaka bil-‘urwati-l-wutsqa
(“Barangsiapa yang ingkar terhadap taghut (berhala) dan beriman kepada Allah
swt, maka sesunggunya ia telah berpegang kepada Pegangan (Tali) yang Kokoh”)
[2:256]. Untuk ingkar kepada berhala-berhala opini
dan beriman kepada-Mu adalah wajib bagi orang-orang yang benar”.
Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili qs,
salah seorang Syaikh Sufi agung pernah ditanya oleh Syaikhnya, “Wahai anakku,
dengan apa engkau akan bertemu Tuhanmu?” Beliau berkata, “Aku datang kepada-Nya
Wahai anakku, jangan kau ulangi lagi hal ini. Ini adalah berhala terbesar,
karena engkau masih mendatangi-Nya dengan sesuatu. Bebaskan dirimu terhadap
segala sesuatu baru kemudian engkau datang kepada-Nya. Para fuqaha (ahli
hukum) dan pemegang ilmu eksternal memegang teguh pada perbuatan mereka dan
dengan dasar tersebut mereka mengembangkan konsep pahala dan azab.
Jika mereka baik, mereka akan
mendapat kebaikan dan bila mereka buruk mereka menemukan keburukan, apa yang
bermanfaat bagi seorang hamba adalah perbuatannya dan apa yang menyakitinya
adalah perbuatanyya juga. Bagi penganut thariqat, hal ini adalah syirik
tersembunyi, karena seseorang menyekutukan sesuatu dengan Allah.
Meskipun untuk melakukan (perbuatan
baik) adalah suatu kewajiban, tetap saja hati tidak boleh terikat dengan
perbuatan tersebut. Perbuatan itu hanya dilakukan karena Allah dan untuk
Cinta-Nya, tanpa pamrih apa pun.
Tentang
Thariqat Naqsybandi
Syah Naqsyband qs berkata, “Thariqat
kita sangat langka dan sangat langka dan sangat berharga. Ini adalah
‘urwati-l-wutsqa (‘Memegang Teguh’), jalan untuk memegang jejak Rasulullah saw
dan para Sahabatnya dengan teguh dan kokoh. Mereka membawaku ke jalan ini dari
pintu Nikmat, karena pada awal dan akhirnya, Aku tidak melihat apapun kecuali
Nikmat Allah swt. Di jalan ini pintu-pintu besar dari Pengetahuan Surgawi akan
dibukakan bagi para pencari yang mengikuti jejak Rasulullah saw.
Untuk mengikuti Sunnah Rasulullah
saw adalah jalan terpenting yang akan membukakan pintu kepadamu. Barangsiapa
yang tidak datang ke jalan kita, maka agamanya berada dalam bahaya.
Beliau pernah
ditanya, ‘Bagaimana seseorang datang ke jalanmu?’ Beliau menjawab, ‘Dengan
mengikuti Sunnah Rasulullah saw.’
Kami telah membawa penghinaan dalam
Jalan ini, dan sebagai balasannya Allah swt memberkati kita dengan
Kemuliaan-Nya.
Beberapa orang berkata tentang
beliau bahwa kadang-kadang beliau terlihat arogan. Beliau berkata, ‘Kami bangga
karena Dia, karena Dia adalah Tuhan kami, yang memberi kami Dukungan-Nya!
Beliau berkata, ‘Untuk mencapai
Rahasia Ke-Esaan kadang-kadang mungkin, tetapi untuk meraih Rahasia
Pengetahuan Spiritual (ma’rifat) adalah sangat sulit sekali.’
Pengetahuan Spiritual bagaikan air,
dia mengambil warna dan bentuk cangkirnya. Pengetahuan Allah begitu luar biasa,
sehingga berapapun yang kita ambil, itu hanya seperti sebuah tetes dalam
Samudra yang Maha luas. Dia bagaikan taman yang sangat luas, berapa pun yang
kita pangkas, seolah-olah kita hanya memangkas sekuntum bunga saja.
Pandangannya
terhadap Makanan
Syah Naqsyband qs, semoga Allah
mensucikan jiwanya, berada dalam tingkatan tertinggi dalam menolak keinginan
terhadap dunia ini. Beliau mengikuti jalan yang shaleh, terutama dalam hal tata
cara makannya. Beliau mengambil segala jenis pencegahan sehubungan dengan
makanannya. Beliau hanya mau makan dari barley yang ditanamnya sendiri. Beliau
akan memanennya, menggilingnya membuat adonan, menanak dan memanggangnya
sendiri. Semua ulama dan para pencari di masanya membuat jalan mereka menuju
rumahnya, agar bisa makan di mejanya dan mendapatkan berkah dari makanannya.
Beliau mencapai suatu kesempurnaan
dalam hal penghematan di musim dingin, beliau hanya meletakkan selembar karpet
tua di lantai rumahnya dan ini tidak memberi perlindungan dari udara dingin
yang menusuk. Di musim panas beliau meletakkan tikar yang sangat tipis di
lantai. Beliau mencintai orang yang miskin dan membutuhkan. Beliau mendorong
para pengikutnya untuk mencari nafkah dengan cara yang halal, yaitu dengan
membanting tulang. Beliau mendorong mereka untuk membagikan uangnya kepada
fakir miskin. Beliau memasak untuk fakir miskin dan mengundang mereka untuk
makan bersama. Beliau melayani mereka dengan tangannya sendiri yang suci dan
mendorong mereka agar tetap berada di Hadirat Allah. Jika salah seorang di
antara mereka memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan cara yang tidak baik,
beliau akan menegurnya, melalui pandangan spiritualnya terhadap apa yang telah
mereka lakukan dan mendorong mereka untuk tetap ingat kepada Allah ketika
sedang makan.
Beliau mengajarkan bahwa, “Salah
satu pintu yang paling penting menuju ke Hadirat Allah adalah makan dengan
Kesadaran. Makanan memberikan kekuatan bagi tubuh, dan makan dengan kesadaran memberikan
kesucian bagi tubuh”.
Suatu saat beliau diundang ke sebuah
kota bernama Ghaziat di mana salah seorang muridnya telah menyiapkan makanan
baginya. Ketika mereka duduk untuk makan, beliau tidak menyentuh makanannya.
Tuan rumah menjadi terkejut. Syah Naqsyband qs berkata, “Wahai anakku, Aku
ingin tahu bagaimana engkau menyiapkan makanan ini. Sejak engkau membuat adonan
dan memasaknya sampai engkau menyajikannya, engkau berada dalam keadaan marah.
Makanan ini bercampur dengan kemarahan itu. Jika kita memakan makanan itu,
Setan akan menemukan jalan untuk masuk melaluinya dan menyebarkan seluruh sifat
buruknya ke seluruh tubuh kita.”
di waktu yang lain beliau diundang ke kota Herat oleh
rajanya, Raja Hussain. Raja Hussain sangat senang dengan kunjungan Syah
Naqsyband qs dan memberikan pesta besar baginya. Raja mengundang semua
mentrinya, Syaikh-Syaikh dari kerajaannya dan seluruh tokoh terhormat. Beliau
berkata, “Makanlah makanan ini. Ini adalah makanan yang murni, yang dibuat dari
uang yang halal yang kudapat dari warisan ayahku.” Semua orang makan kecuali
Syah Naqsyband qs, hal ini mendorong Syaikh ul-Islam pada saat itu, Quth
ad-din, untuk bertanya, “Wahai Syaikh kami, mengapa engkau tidak makan?”
Syah Naqsyband qs berkata, “Aku
mempunyai seorang hakim tempat Aku berkonsultasi. Aku bertanya kepadanya dan
hakim itu berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, mengenai makanan ini terdapat dari
kemungkinan. Jika makanan ini tidak halal dan engkau tidak makan bila engkau
ditanya engkau dapat mengatakan Aku datang ke meja seorang raja tetapi Aku
tidak makan. Maka engkau akan selamat karena engkau tidak makan. Tetapi bila
engkau makan dan engkau ditanya, maka apa yang akan kau katakan? Maka engkau
tidak akan selamat.’
Pada saat itu, Qutb ad-Din begitu
terkesan dengan kata-kata ini dan tubuhnya mulai bergetar. Beliau harus meminta
izin kepada raja untuk menghentikan makannya. Raja sangat heran dan bertanya
“Apa yang harus kita lakukan dengan semua makanan ini?” Syah Naqsyband qs
berkata, “Jika ada keraguan mengenai kesucian makanan ini, lebih baik berikan
kepada fakir miskin. Kebutuhan mereka (akan makanan-red) akan membuatnya halal
bagi mereka. Jika seperti yang engkau katakan, makanan ini halal, maka akan
lebih banyak lagi berkah dalam pemberian makanan ini sebagai sedekah kepada
mereka yang membutuhkan daripada menjamu orang-orang yang tidak (benar-benar
membutuhkannya).
Sebagian besar hari-harinya dijalani
dengan berpuasa. Jika seorang tamu mendatanginya dan beliau mempunyai sesuatu
yang bisa ditawarkan kepadanya, maka beliau akan duduk menemaninya membatalkan
puasanya dan makan bersamanya. Beliau berkata kepada para pengikutnya bahwa
para Sahabat Rasulullah saw biasa melakukan hal yang sama. Syaikh Abul Hasan
al-Kharqani berkata dalam bukunya, Prinsip-Prinsip Thariqat dan Prinsip-prinsip
dalam Meraih Makrifat,
Jagalah keharmonisan dengan para
sahabat, tetapi tidak dalam berbuat dosa. Ini berarti bahwa jika engkau sedang
berpuasa, lalu ada seseorang yang berkunjung sebagai teman, maka engkau harus
duduk bersamanya dan makan bersamanya demi menjaga adab dalam berteman
dengannya. Salah satu prinsip dalam puasa, atau ibadah lainnya adalah
menyembunyikan apa yang dilakukan oleh seseorang. Jika seseorang membukanya,
misalnya dengan berkata kepada tamunya bahwa dia sedang berpuasa, maka
kebanggaan bisa masuk ke dalam dirinya sehingga menghancurkan puasanya. Inilah
alasan di balik prinsip tersebut.
Suatu hari beliau diberikan seekor
ikan yang telah dimasak sebagai hadiah. Di sekitarnya terdapat banyak orang
miskin, di antara mereka terdapat seorang anak yang sangat shaleh dan sedang
berpuasa. Syah Naqsyband qs memberikan ikan itu kepada orang-orang miskin dan
mengatakan kepada mereka, “Silakan duduk dan makan,” demikian pula kepada anak
yang sedang berpuasa itu, “Duduk dan makanlah.” Anak itu menolak.
Beliau berkata lagi, “Batalkan
puasamu dan makanlah,” lagi-lagi anak itu menolak. Beliau bertanya kepadanya,
“Bagaimana jika Aku memberimu salah satu di antara hari-hariku di bulan
Ramadhan? Maukah engkau duduk dan makan?” Sekali lagi dia menolak. Beliau
berkata kepadanya, “Bagaimana jika Aku memberimu seluruh Ramadhanku?” Namun
masih saja dia menolak. Beliau berkata, “Bayazid al-Bistami qs pernah suatu
kali dibebani orang sepertimu.” Sejak saat itu anak itu terlihat berpaling
untuk mengejar kehidupan duniawi. Dia tidak pernah berpuasa dan tidak pernah
beribadah lagi.
Insiden yang dirujuk oleh Syah
Naqsyband qs terjadi ketika Syaikh Abu Turab an-Naqsybandi qs mengunjungi
Bayazid al-Bistami qs. Pelayan beliau menawarkan makanan. Abu Turab q.s
berkata kepada pelayan itu, “Datanglah ke sini, duduk dan makan bersamaku.”
Pelayan itu menolak, “Tidak, Aku sedang berpuasa.” Beliau berkata, “Makanlah,
dan Allah akan memberimu pahala puasa selama satu tahun.” Dia tetap menolak.
Beliau berkata lagi, “Ayo makan, Aku akan berdo’a kepada Allah agar Dia
memberimu pahala dua tahun puasaasa.” Kemudian Hadrat Bayazid qs berkata,
“Tinggalkan dia.
Allah swt tidak lagi memeliharanya.”
Hari-hari berikutnya kehidupannya semakin buruk dan dia menjadi seorang pencuri.
Keajaiban-Keajaiban
dan Kemurahannya
Keadaan Syah Naqsyband q.s, berada
di luar jangkauan untuk dilukiskan dan tingkat pengetahuannya pun tidak dapat
dilukiskan. Salah satu keajaiban terbesarnya adalah eksistensinya itu sendiri.
Beliau sering menyembunyikan tindakannya dengan tidak memperlihatkan kekuatan
ajaibnya. Namun demikian banyak keajaibannya yang tercatat.
Syah Naqsyband qs, semoga Allah
memberkati jiwanya, berkata,
“Suatu hari Aku pergi bersama
Muhammad Zahid qs ke gurun. Beliau adalah seorang murid yang dapat dipercaya
dan kami memiliki sebuah kapak beliung (pickaxe) yang kami gunakan untuk
menggali. Ketika kami sedang bekerja dengan beliung itu, kami berdiskusi
tentang tingkat pengetahuan yang dalam seperti itu dimana kami melempar beliung
dan masuk lebih dalam ke pengetahuan spiritual. Kami bergerak semakin dalam
sampai pembicaraan kami mengantarkan kami pada asal penyembahan (ibadah)”.
Dia bertanya kepadaku, ‘Wahai
Syaikhku, sampai batas mana yang bisa dicapai oleh ibadah?’ Aku berkata,
‘Ibadah mencapai tingkat kesempurnaan di mana orang yang beribadah dapat
berkata kepada seseorang ‘meninggal’ dan orang itu akan meninggal.’ Tanpa sadar
Aku menunjuk pada Muhammad Zahid qs. Dengan segera dia meninggal. Dia berada
dalam keadaan meninggal sejak matahari terbit hingga tengah hari. Hari itu
sangat panas. Aku merasa cemas karena tubuhnya menjadi rusak akibat panas yang
berlebihan.
Aku menariknya ke bawah bayangan
pohon dan Aku duduk disana merenungkan persoalan ini. Ketika Aku merenung sebuah
inspirasi dari Hadirat Ilahi masuk ke dalam hatiku dan mengatakan kepadaku agar
berkata kepadanya, ‘Wahai Muhammad, hiduplah! Aku mengucapkannya 3 kali.
Hasilnya, jiwanya mulai memasuki tubuhnya, dan kehidupan mulai kembali lagi
padanya. Secara perlahan dia kembali ke keadaan semula. Aku pergi ke Syaikhku
dan menceritakan apa yang terjadi. Beliau berkata, Wahai anakku, Allah
memberimu suatu rahasia yang belum pernah diberikan kepada orang lain.’
Syaikh Alauddin al-‘Attar qs
berkata,
Suatu ketika Raja Transoxiana,
Sultan Abdullah Kazgan, datang ke Bukhara. Beliau memutuskan untuk berburu di
sekitar Bukhara dan banyak orang yang menemaninya. Syah Baha’uddin Naqsyband qs berada di desa sekitar. Ketika orang pergi
berburu, Syah Naqsyband pergi ke puncak bukit dan duduk di sana. Ketika beliau
sedang duduk di sana, dalam benaknya terlintas pikiran bahwa Allah memberikan
kemuliaan yang berlimpah kepada para awliya. Karena kemuliaan itu, semua raja
di dunia ini akan membungkuk kepada mereka.
Belum lagi pikiran itu hilang dari
hatinya, seorang penunggang kuda dengan mahkota di kepalanya seperti seorang
raja, datang ke hadiratnya dan turun dari kudanya. Dengan rendah hati dia
menyalami Syah Naqsyband qs dan berdiri di hadiratnya dengan sangat sopan. Dia
membungkuk di hadapan Syaikh tetapi Syaikh tak menoleh kepadanya. Beliau
membiarkannya berdiri selama satu jam. Akhirnya, Syah Naqsyband qs melihatnya
dan berkata, ‘Apa yang engkau lakukan di sini?’ Dia berkata, ‘Aku seorang raja,
Sultan Kazgan.
Aku sedang pergi berburu, dan Aku
mencium aroma yang sangat indah. Aku mengikutinya ke sini dan Aku menemukan
engkau duduk di tengah cahaya yang sangat kuat.’ Pikirannya yang tadi, ‘Semua
raja di dunia ini akan rnembungkuk kepada para awliya’ langsung menjadi
kenyataan. Itulah bagaimana Allah memuliakan , pikiran para awliya-Nya.
Salah satu pengikutnya yang
melayaninya di kota Merv melaporkan “Suatu hari Aku ingin menemui keluargaku di
Bukhara setelah mendengar bahwa saudaraku Syamsuddin meninggal. Aku membutuhkan
izin dari Syaikhku untuk pergi. Aku berbicara dengan Amir Hussain, Pengeran
dari Herat, untuk memintakan izin kepada Syah Naqsyband qs atas
namaku. Dalam perjalanan sepulang sholat Jumat, Amir Hussain mengatakan
kepadanya tentang kematian saudaraku dan bahwa Aku meminta izin untuk pergi
menemui keluargaku”.
Beliau berkata, ‘Tidak, hal itu
tidak mungkin. Bagaimana mungkin engkau berkata bahwa dia telah meninggal
karena Aku melihatnya masih hidup. Lebih dari itu, Aku bahkan dapat mencium
wangi tubuhnya. Aku akan membawanya ke sini sekarang.’ Beliau baru saja
mengakhiri ucapannya ketika saudaraku muncul. Dia mendekati Syaikh, mencium
tangannya dan menyalami Amir Hussain. Aku memeluk saudaraku dan itu kebahagiaan
yang sangat besar antara kami.
Syaikh Alauddin Attar qs berkata,
Syaikh Syah Naqsyband qs suatu kali
duduk di sebuah asosiasi yang besar di Bukhara dan berbicara mengenai pembukaan
tabir pandangan spiritual. Beliau berkata, ‘Sahabat terbaikku, Mawa’ Arif yang
berada di Khwarazm, (400 mil dari Bukhara) telah meninggalkan Khwarazm untuk
gedung pemerintah, dan beliau sampai di stasiun kereta berkuda. Ketika beliau
sampai di stasiun tersebut beliau tinggal di sana untuk beberapa saat dan
sekarang kembali lagi ke rumahnya di Khwarazm.
Beliau tidak melanjutkan
perjalanannya ke Saray. Inilah bagaimana seorang wali dapat melihat dalam maqam
pengetahuannya spiritualnya.’ Setiap orang kaget mendengar cerita ini tetapi
kami semua tahu bahwa beliau adalah seorang wali besar, maka kami mencatat
waktu dan harinya. Suatu hari Mawla ‘Arif datang dari Kwarazm ke Bukhara dan
kami memberitahu dia mengenai kejadian itu. Dia sangat kaget dan berkata,
‘Sebenarnya, itulah kejadian yang sesungguhnya.’
Beberapa ulama dari Bukhara
bepergian ke Iraq bersama beberapa murid, Syah Naqsyband qs ketika mereka tiba
di kota Simnan. Mereka mendengar bahwa ada sosok yang diberkati yang bernama
Sayyid Mahmoud, yang merupakan murid Syaikh. Mereka pergi mengunjungi rumahnya
dan bertanya kepadanya, “Bagaimana engkau bisa berhubungan dengan Syaikh?”
Beliau berkata,
Suatu ketika Aku melihat Rasulullah
saw dalam sebuah mimpi, duduk di sebuah tempat yang sangat baik, dan di
sampingnya duduk seorang dengan penampilan yang sangat elok. Aku berkata kepada
Rasulullah saw dengan penuh hormat dan rendah hati, ‘Ya Rasulullah saw, Aku
tidak diberi kemuliaan untuk menjadi sahabatmu semasa hidupmu. Apa yang dapat
kulakukan dalam hidupku agar bisa mendekati kemuliaan itu?’
Beliau berkata, ‘Wahai anakku jika
engkau ingin dimuliakan dengan menjadi sahabat kami dan duduk bersama kami dan
diberkati, engkau harus mengikuti anakku, Syah Baha’uddin Naqsyband qs.’ Aku
lalu bertanya, ‘Siapakah Syah Baha’uddin Naqsyband qs?’ Beliau menjawab
kepadaku, ‘Apakah engkau lihat orang yang duduk disebelahku? Inilah orangnya.
Jagalah kebersamaanmu dengannya.’ Aku belum pernah melihatnya sebelumnya.
Ketika Aku bangun, Aku menulis
namanya dan deskripsinya dalam sebuah buku yang kumiliki di perpustakaanku.
Hari-hari pun berlalu setelah mimpi itu, sampai suatu hari, ketika Aku sedang
berdiri di sebuah toko, Aku melihat seseorang dengan penampilan yang anggun
bercahaya mendatangi toko dan duduk di sebuah kursi. Ketika Aku melihatnya, Aku
ingat mimpi itu dan apa yang terjadi di dalamnya.
Dengan segera Aku menghampirinya dan
bertanya kepadanya apakah beliau berkenan mengunjungi rumahku dan tinggal
bersamaku.
Beliau menerimanya dan mulai
berjalan di depanku sementara Aku mengikutinya. Aku malu untuk berjalan di
depannya, bahkan untuk menunjukkan jalan menuju rumahku. Beliau tidak menoleh
sekali pun kepadaku, tetapi langsung mengambil jalan menuju rumahku. Aku baru
saja ingin mengatakan, ‘Inilah rumahku’, beliau berkata, ‘ini rumahmu.’ Beliau
berjalan ke dalam dan langsung menuju ruangan istimewaku.
Beliau berkata, ‘ini kamarmu.’
Beliau pergi ke lemari dan mengambil sebuah buku di antara ratusan buku. Beliau
memberikan buku itu dan bertanya padaku, ‘Apa yang engkau tulis di sini?’ Apa
yang telah kutulis adalah apa yang kulihat dalam mimpi.
Dengan segera suatu keadaan tidak
sadar menguasaiku dan aku merasa pusing dengan cahaya yang masuk ke dalam
hatiku. Ketika Aku bangun, Aku bertanya kepadanya apakah beliau akan
menerimanya. Beliau adalah Syah Baha’uddin Naqsyband qs.
Syaikh Muhammad Zahid qs berkata,
Di awal perjalananku dalam Thariqat
ini, Aku duduk di sampingnya suatu hari di musim semi. Sebuah keinginan akan
semangka masuk ke dalam hatiku. Beliau melihatku dan berkata, ‘Muhammad Zahid
qs, pergilah ke sungai di dekat kita itu dan bawakan kepada kita apa yang
engkau lihat dan kita akan memakannya.’
Dengan segera Aku pergi ke sungai
itu. Airnya sangat dingin. Aku menyelam ke dalamnya dan menemukan sebuah
semangka di bawah air, sangat segar, seolah-olah baru saja dipotong dari
dahannya. Aku sangat bergembira dan Aku mengambilnya dan berkata, ‘Wahai
Syaikhku terimalah aku.’”
Salah satu muridnya melaporkan hal
berikut mengenai kunjungannya menemui beliau.
Sebelum kunjungan itu beliau
menanyakan Syaikh Syadi, salah seorang murid senior, untuk menasihatinya,
“Beliau berkata kepadaku, ‘Wahai saudaraku, bila engkau pergi mengunjungi
Syaikh atau ketika engkau duduk di tengah kehadiran Syaikh, berhati-hatilah
agar jangan meletakkan kakimu sedemikian rupa sehingga kakimu menghadap ke
arahnya.’ Segera setelah Aku meninggalkan Ghaziut dalam perjalananku ke Qasr
al-‘Arifan.
Aku menemukan sebuah pohon dan
berbaring di bawahnya dengan kaki berselonjor. Sayangnya seekor binatang datang
dan menggigit kakiku. Kemudian aku tertidur lagi dengan rasa nyeri, dan ketika
aku tertidur seekor binatang menggigitku lagi. Tiba-tiba aku sadar bahwa Aku
telah membuat suatu kesalahan besar, Aku telah menghadapkan kakiku ke arah
Syaikhku. Dengan segera Aku bertaubat dan binatang yang menggigitku itu pun
pergi.
Suatu saat beliau didesak untuk
memperlihatkan kekuatan ajaibnya untuk mempertahankan salah satu penerusnya di
Bukhara, Syaikh Muhammad Parsa qs. Hal ini terjadi ketika Syaikh Muhammad
Syamsuddin al-Jazari datang ke Samarkand, di masa Raja Mirza Aleg Beg, untuk
menentukan pembenaran atas mata rantai transmisi dalam narasi Hadits. Beberapa ulama
korup yang iri mengeluh bahwa Syaikh Muhammad Parsa qs telah memberikan
narasi-narasi hadits yang rantai transmisinya tidak dikenal.
Mereka berkata kepada Syamsuddin,
“Jika engkau mencoba perbaiki masalah itu, Allah akan memberimu pahala yang
besar.” Syaikh Muhammad Syamsuddin meminta Sultan untuk memerintahkan Syaikh
Muhammad Parsa qs agar muncul. Syaikh ul-Islam di Bukhara, Husamuddin
an-Nahawi, berada di sana, bersama dengan sejumah ulama dan imam dari daerah
itu.
Syah Naqsyband qs datang bersama Muhammad
Parsa qs ke temuan itu. Lalu Syaikh Husamuddin menanyakan Muhammad Parsa qs
mengenai sebuah hadits. Muhammad Parka qs menarasikan hadits itu bersama dengan
mata rantai transmisinya. Syaikh Muhammad al-Jazari berkata, “Tidak ada yang
salah dalam haditsnya, tetapi mata rantainya tidak benar.”
Ketika mendengar ini para ulama yang
iri merasa gembira. Mereka meminta Muhammad Parsa qs memberi mata rantai yang
lain hadits tersebut. Beliau melakukannya, tetapi tetap saja dikatakan bahwa
itu tidak benar. Mereka meminta mata rantai yang lain, beliau memberikannya dan
tetap saja mereka menemukan kesalahan dalamnya.
Syah Naqsyband qs turun tangan,
karena beliau tahu bahwa apa mata rantai yang diberikan, mereka akan mengatakan
bahwa salah. Beliau memberi inspirasi kepada Muhammad Parsa qs bertanya
langsung kepada Syaikh Husamuddin dan kepadanya, “Engkau adalah Syaikh ul-Islam
dan seorang mufti. Dan apa yang telah engkau pelajari mengenai pengetahuan
eksternal dan syari’ah serta pengetahuan mengenai hadits, apa yang engkau
katakan mengenai narator-narator tersebut?”
Syaikh Husamuddin berkata, “Kami
menerima orang itu dan kami mendasarkan banyak pengetahuan mengenai hadits pada
nama mereka, dan buku-buku mereka kami terima, dan silsilahnya oleh semua
ulama, dan tidak ada beda pendapat mengenai hal itu Muhammad Parsa qs berkata,
“Buku orang itu, yang engkau terima ada di rumahmu di perpustakaanmu, di antara
buku ini dan ini. Dan terdiri atas 500 halaman dan warnanya adalah ini
dan ini sampulnya terlihat seperti ini dan ini, dan hadits yang engkau tolak
oleh orang tersebut ada di halaman ini dan ini.”
Syaikh Husamuddin merasa bingung dan
keraguan mendatang hatinya, karena dia tidak ingat pernah melihat buku seperti
itu di perpustakaannya. Semua orang terkejut bahwa Syaikh mengetahui buku itu
tetapi pemiliknya tidak mengetahuinya. Tidak ada alternatif lain kecuali untuk
mengutus seseorang untuk mengecek. Hadits tersebut ditemukan sebagaimana yang
disebutkan oleh Muhammad Parsa qs. Ketika raja mendengar kisah ini, para ulama
yang membawa masalah ini dihinakan sementara Syah Naqsyband qs dan Muhammmad
Parsa qs mendapat kemuliaan.
Keadaannya
ketika Meninggalkan Dunia ini
Syaikh Ali Damman, salah seorang
pelayan dari Syaikh berkata, Syaikh menyuruhku untuk menggali makamnya. Ketika
aku menyelesaikannya, aku bertanya dalam hati, ‘Siapa yang akan menjadi
penerusnya?’ Beliau bangkit dari bantalnya dan berkata kepadaku,, ‘Oh anakku,
jangan melupakan apa yang kukatakan kepadamu ketika kita dalam perjalanan ke
Hijaz. Siapa pun yang ingin mengikutiku dia harus mengikuti Syaikh Muhammad
Parsa qs dan Syaikh Alauddin Attar qs.’
Di hari-hari terakhirnya, beliau
tinggal di kamarnya. Orang-orang mengunjunginya dan beliau memberi nasihat
kepada mereka. Ketika beliau memasuki sakitnya yang terakhir beliau mengunci
dirinya di dalam kamar. Bergelombang-gelombang pengikutnya mulai berdatangan
mengunjunginya dan beliau masing-masing memberi nasihat yang mereka butuhkan.
Pada suatu saat beliau memerintahkan mereka membaca surat Yaa Sin. Kemudian ketika
mereka menyelesaikannya, beliau berdo’a kepada Allah lalu mengangkat jari
telunjuk kanannya untuk rnengucapkan syahadat. Segera setelah beliau
mengucapkannya, jiwanya kembali kepada Allah swt.
Beliau meninggal pada hari Minggu
malam, 3 Rabiul-Awwal, 791 H (1388 M). Beliau dimakamkan di halaman rumahnya
sebagaimana permintaan beliau. Penerus Raja Bukhara menjaga madrasah dan
masjidnya, memperluas dan meningkatkan waqafnya.
AbduL Wahhab asy-Sya’arani qs,
seorang Kutub Spiritual di masanya mengatakan, “Ketika Syaikh dikuburkan di
makamnya, sebuah pintu surga terbuka baginya, menjadikan makamnya sebagai taman
dari Surga. 2 makhluk spiritual yang indah mendatanginya dan memberinya salam
dan berkata kepadanya, ‘Sejak Allah swt menciptakan kami sampai sekarang, kami
telah menunggu untuk melayani engkau.’ Beliau berkata kepada kedua makhluk
spiritual ini, ‘Aku tidak berpaling kepada yang lainnya kepada-Nya. Aku tidak
membutuhkan kalian tetapi Aku membutuhkan Tuhanku.’
Syah Naqsyband qs meninggalkan
banyak penerus, yang paling terhormat di antara mereka adalah Syaikh Muhammad
bin Muhammad Alauddin al-Khwarazmi al-Bukhari al-Attar qs dan Syaikh Muhammad
bin Muhammad bin Mahmoud al-Hafizi qs, yang dikenal sebagai Muhammad Parsa qs,
penulis Risala Qudsiyya. Kepada yang pertamalah Syah Naqsyband qs meneruskan
rahasia dari Mata Rantai Emas.