posted by: GEOPANGEA RESEARCH GROUP INDONESIA | December 19, 2014
KIMBERLIT : Batuan Beku Pembawa Berlian
Compiled By: Fery Andika Cahyo
Kimberlit adalah batuan beku yang dikenal dalam dunia pertambangan dan geologi sebagai batuan yang mengandung berlian. Namanya sendiri berasal dari nama sebuah kota di Afrika Selatan, Kimberley, di mana pada tahun 1871 di kota tersebut ditemukan berlian dengan kadar 83.5 karat(16.70 g).
Kimberlit biasanya hadir pada kerak bumi dalam struktur vertikal yang dikenal sebagai kimberlites pipes, dan juga berupa dyke dan sills. Kimberlite pipes adalah sumber ekstraksi berlian yang paling penting saat ini. Konsensus yang berkembang di dunia geologi menyatakan bahwa kimberlit terbentuk pada bagian mantel bumi yang dalam. Pembentukan terjadi pada kedalaman sekitar 150 dan 450 km(93 dan 280 mil), secara potensial terbentuk dari komposisi mantel bumi yang bersifat eksotik, dan dierupsikan secara berulang-ulang dan terus-menerus, seringkali disertai dengan kehadiran komponen karbon dioksida dan material volatil. Faktor kedalaman dari zona peleburan dan pembentukannyalah yang mengakibatkan kimberlit sangat potensial untuk menjadi batuan yang mengandung xenochrist berlian.
Berdasarkan konsensus yang telah dijelaskan sebelumnya, pembelajaran mengenai petrogenesis kimberlit dapat menyibak informasi fundamental mengenai komposisi mantel bumi bagian dalam dan mengenai proses peleburan yang terjadi pada zona pertemuan antara litosfer kontinental kratonik dan mantel astenosfer yang berkonveksi di bawahnya.
Proses pergerakan erupsi magma kimberlitik dari mantel bumi bagian dalam hingga menuju ke dekat permukaan masih merupakan topik yang banyak diperbincangkan para geologis. Penelitian pada tahun 2012 yang dilakukan oleh Profesor Donald Dingwell, Direktur Departemen Geologi dan Lingkungan LMU, akhir-akhir sedikit member titik terang bagaimana magma kimberlitik mendapatkan sifat mengapungnya(buoyancy). Model percobaannya menjelaskan bahwa mineral yang berasimilasi dengan magma dari mantel bagian dalam yang bergerak ke atas adalah yang bertanggung jawab dalam memberikan impetus yang dibutuhkan. Magma primordialnya pada awalnya bersifat basa, namun dengan adanya inkorporasi dari mineral silikat yang ditemui selama proses pergerakan ke atasnya menyebabkan peleburan lebih bersifat asam. Hal ini menyebabkan pelepasan karbon dioksida dalam bentuk gelembung-gelembung, yang mereduksi densitas peleburan, yang secara esensial menyebabkannya berbuih. Hasilnya adalah meningkatnya kemampuan magma untuk mengapung, yang mendukung pergerakannya ke arah atas.
Kebanyakan kimberlit yang telah ditemukan memiliki umur 70 hingga 150 juta tahun yang lalu, namun beberapa di antaranya ada yang berumur hingga 1.200 juta tahun yang lalu. Pada umumnya, kimberlit ditemukan hanya di daerah kratonik, kerak benua tertua yang masih terjaga, yang membentuk nukleus tubuh daratan benua yang tetap tidak terubah secara virtual sejak pembentukannya. Magma kimberlitik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terbentuk pada kedalaman lebih dari 150 km, suatu kedalaman yang relatif lebih besar dari pada kebanyakan batuan vulkanik lainnya. Temperatur dan tekanan yang ada di zona tersebut sangat tinggi sehingga karbon dapat terkristalisasi membentuk berlian. Saat magma kimberlitik ini didorong melalui corong panjang seperti pipa oleh proses vulkanisme, seperti air di dalam selang yang ujungnya dipersempit, velositasnya akan meningkat secara signifikan dan berlian yang terbentuk akan tertransportasi ke arah atas seakan-akan dibawa oleh elevator. Itu sebabnya kimberlite pipes adalah lokasi ekstraksi berlian yang paling utama di dunia. Namun berlian bukan satu-satunya penumpang pada magma kimberlitik. Kimberlit juga akan membawa banyak jenis lain dari batuan yang dijumpainya selama perjalan menuju ke arah permukaan.
Meskipun terdapat ”beban ekstra” magma kimberlit tertransport secara cepat, dan naik ke permukaan melalui erupsi eksplosif. Menurut Profesor Dingwell gas volatil seperti karbon dioksida dan uap air memainkan peran utama dalam memberikan sifat apung yang memungkinkan magma kimberlitik untuk terus bergerak ke arah atas. Namun asal-usul dari gas volatil ini di dalam magma, masih menurut Profesor Dingwell, belum begitu jelas. Melalui percobaan laboraterium yang dikondisikan pada suhu tinggi yang sesuai dengan keadaan pembentukan magma kimberlitik, tim peneliti yang dipimpin Profesor Dingwell dapat mendemonstrasikan pentingnya proses asimilasi xenoliths dalam proses tersebut. Magma primordial yang ditemukan pada interior bumi bagian dalam dianggap bersifat basa karena pada umumnya ia terdiri dari komponen pembawa karbonat, yang juga dapat memiliki proporsi air yang relatif tinggi. Saat magma mengalami kontak dengan batuan kaya silika, mereka secara efektif terlarutkan dalam fase cair, yang mengakibatkan pengasaman proses peleburan. Seiring dengan makin meningkatnya jumlah silika yang terinkorporasi, level saturasi karbon dioksida yang terlarut di dalam cairan secara progresif akan meningkat seiring dengan solubilitas karbon dioksida yang menurun. Saat cairan bersaturasi tinggi, kelebihan unsur karbon dioksida akan membentuk gelembung-gelembung. Hasilnya proses pembuihan magma yang berlanjut, yang dapat mengurangi viskositas dan secara komprehensif meningkatkan kemampuan mengapung memberikan tenaga untuk erupsi yang sangat intensif sehingga memungkinkan magma kimberlitik mencapai permukaan. Semakin cepat magma bergerak ke arah atas, semakin banyak silikat yang terikut dalam aliran, dan semakin tinggi konsentrasi silikat yang terlarut, sehingga pada akhirnya jumlah karbon dioksida dan uap air yang terlepas mendorong cairan panas ke atas dengan tenaga yang besar, seperti roket.
Penelitian ini juga menjelaskan mengapa kimberlit hanya ditemukan pada nukleus kontinen tua. Hanya pada keadaan dan lokasi seperti itulah kerak memiliki kandungan mineral silika yang cukup untuk mendorong pergerakan ke atas dari magma, selain itu, kerak kratonik sangat tebal. Dengan demikian waktu pergerakannya menjadi lebih panjang, dan magma yang bergerak ke atas memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengalami kontak dengan mineral kaya silikat.
Morfologi & Vulkanologi
Banyak kimberlit tergenerasikan dengan bentuk menyerupai wortel, berupa intrusi vertical yang disebut pipes. Bentuk klasik kimberlit yang menyerupai bentuk wortel ini dapat terbentuk oleh karena proses intrusi kompleks dari magma kimberlitik yang mewarisi proporsi besar dari CO2(jumlah H20 yang lebih kecil) pada sistem pembentukannya, yang memproduksi fase-fase peleburan eksplosif dalam yang menyebabkan jumlah signifikan dari intrusi vertical(Bergman, 1987). Klasifikasi kimberlit didasarkan pada pengenalan fasies batuan yang berbeda. Fasies-fasies yang berbeda ini diasosiasikan dengan aktivitas magmatic tertentu, yang didefiniskan antara lain sebagai crater, diatremem, dan batuan hypabyssal(Clement dan Skinner 1985, dan Clement, 1982).
Morfologi dari kimberlite pipes, dan bentuk klasiknya yang menyerupai wortel, adalah hasil vulkanisme eksplosif diatreme dari sumber mantel bumi yang sangat dalam. Eksplosi vulkanik ini menghasilkan kolom batuan yang bergerak ke atas dari sumbernya yang berupa magma pada bagian mantel dalam. Morfologi kimberlite pipes bervariasi namun secara umum termasuk mencakup komplek dykes sheeted dari tubuh batuan berbentuk tabular. Pada kedalaman 1.5-2 km(0.93-1.24 mil) dari permukaan, magma bertekanan tinggi ini akan tereksplosi ke arah atas dan mengembang membentuk diatremei yang berdimensi menyerupai konikal atas silinder, yang kemudian akan terus dierupsikan ke permukaan. Ekspresi permukaan akibat fenomena yang dijabarkan sebelumnya ini sangat jarang terawetkan, sebaliknya apa yang banyak dijumpai dari sisa fenomena tersebut adalah gunung api maar. Diameter kimberlite pipes pada permukaan biasanya bisa mencapai ratusan meter hingga beberapa kilometer(mencapai hingga 0.6 mil). Dua dykes kimberlit berumur jura ditemukan di daerah Pensylvania. Salah satunya, dykes Gates-Adah, tersingkap di sekitar Sungai Monongahela pada perbatasan antara Daerah Fayette dan Greene. Dykes Kimberlit lainnya, Dixonville-Tanoma di Daerah Indiana tengah, tidak tersingkap ke permukaan dan ditemukan oleh para penambang.
Petrologi
Baik lokasi dan proses pembentukan dari magma kimberlitic masih menjadi penelaahan yang terus berlanjut. Pengayaan unsur ekstrem dan aspek geokimianya telah mengundang spekulasi besar mengenai proses pembentukannya, dengan variasi model pembentukan yang menempatkan area generasi kimberlit di mantel litosfer sub-kontinen(sub-continental lithospheric mantle, SCLM) atau hingga sedalam zona transisi. Mekanisme pengayaan unsur yang dijumpai pada kimberlit juga menjadi topik yang menarik perhatian yang mencakup model peleburan parsial, asimilasi sedimen tersubduksi atau asal usul sumber magma primer.
Secara historis, kimberlit dibagi menjadi dua varietas berbeda yang diberi terminologi basaltik atau micaceous yang didasarkan pada pengamatan petrografi(Wagner, 1914). Di kemudian hari ini direvisi oleh Smith(1983) yang menamakannya ulang menjadi kimberlit Grup 1 dan Grup 2 berdasarkan afinitas isotopik dari batuan-batuan ini menggunakan sistem Nd, Sr, dan PB. Mitchell(1995) kemudian mengajukan pandangan bahwa kimberlit grup 1 dan grup 2 memperlihatkan perbedaan yang sangat kentara, sehingga keduanya sepertinya tidak berelasi secara dekat seperti yang telah dipertimbangkan sebelumnya. Dia menunjukkan jika kimberlit grup 2 memperlihatkan affnitas yang lebih dekat ke lamproites dari pada ke kimberlit grup 1. Oleh karenanya, Ia mereklasifikasi kimberlit grup 2 menjadi orangeites untuk mencegah kebingungan.
Kimberlite Grup 1
Kimberlit grup 1 adalah batuan beuka potasik ultramafik yang kaya akan CO2 dan didominasi oleh susunan mineral olivine forsteritik, ilmenit magnesian, kromium pyrope, alamandine-pyrope, chromium diopside(pada beberapa kasus subcalcik), phlogopite, enstatite, dan chromit yang miskin unsur Ti. Kimberlit grup 1 mempertunjukkan tekstur inequigranular khas yang disebabkan kehadiran fenokris olivine, pyrope, chromian diopside, ilmenit magnesian dan phlogopite dengan ukuran makrokristik(0.5-10 mm) hingga megakristik(10-200 mm) pada masa dasar dengan ukuran halus hingga medium. Mineralogi masa dasar, yang lebih menyerupai komposisi asli batuan beku, mengandung olivine forsteritik, pyrope garnet, Cr-diopside, ilmenit magnesian dan spinel.
Lamproite Olivine
Olivine lamproite sebelumnya diberi nama kimberlit grup 2 atau orangeites setelah sebelumnya secara salah dianggap hanya hadir di Afrika Selatan. Kehadiran dan aspek petrologinya, kendati demikian, secara global identik dan seharusnya tidak direferensi secara salah sebagai kimberlit. Olivin lamproites adalah batuan peralkalin ultrapotasik yang kaya akan unsur volatile(dominan H20). Karakteristik yang berbeda dari olivine lamproites adalah phlogophite makrokris dan mikrophenocris, bersama masa dasar mika yang bervariasi komposisinya dari phlogopit hingga tetraferiphlogopit(anomaly phlogopit yang miskin AI sehingga membutuhkan Fe untuk mesuk ke system tetrahedral). Olivin makrokris dan Kristal primer euhedral dari masa dasar olivine bersifat umum namun bukan konstituen esensial.
Fase karakteristik primer yang ada pada masa dasar mencakup: pirokesen yang terzonasi(inti dari diopside yang dikelilingi Ti-aegirin); mineral grup spinel(chromite magnesian hingga magnetit titaniferus); perovskit kaya Sr dan REE, apatit kaya SR, phosphate kaya REE(monazite, daqingshanenite), grup mineral potasian barian holandit, rutile pembawa Nb dan ilmenit pembawa Mn.
Mineral Indikator Kimberlit
Kimberlit adalah batuan beku unik karena mengandung varietas spesies mineral dengan komposisi kimia yang mengindikasikan bahwa ia terbentuk pada keadaan tekanan dan temperatur tinggi di dalam mantel. Mineral-mineral ini antara lain adalah diopside chromium(piroksen), spinel chromium, ilmenit magnesian, dan garnet pyrope yang kaya akan chromium. Pada umumnya mineral-mineral yang disebutkan ini tidak dijumpai pada kebanyakan batuan beku, membuatnya menjadi indikator yang berguna untuk kimberlit. Mineral-mineral indikator ini pada umumnya akan dicari pada sedimen modern di endapan alluvial. Kehadirannya dapat mengindikasikan kehadiran kimberlit.
Geokimia
Aspek geokimia dari kimberlit didefinisikan dengan parameter-parameter berikut:
- Ultramafik, MgO > 12 % dan pada umumnya > 15 %
- Ultrapotasik, Molar K2O/Al2O3 > 3
- Ni(>400 ppm), Cr(>1000 ppm), Co(>150 ppm)
- Pengayaan REE
- Pengayaan menengah hingga tinggi dari unsur LILE,ΣLILE= >1,000 ppm
LILE=Large ion lithopolite elements
- Kaya kandungan H20 dan CO2
Aspek Ekonomi
Kimberlit adalah sumber paling penting dari berlian primer. Banyak kimberlite pipes juga menghasilkan alluvial yang kaya atau berlian endapan plaser. Sekitar 6,400 kimberlit pipes telah ditemukan di dunia, dari jumlah tersebut 900 di antaranya diklasifikasikan sebagai pembawa berlian, dan dari jumlah tersebut hanya 30 yang secara ekonomi menguntungkan untuk ditambang.
Endapan kimberlit yang ditemukan di Kimberley, Afrika Selatan adalah yang pertama kali ditemukan dan menjadi asal usul namanya. berlian Kimberley pada awalnya ditemukan pada kimberlit yang telah terlapukkan bewarna kekuningan oleh karena kehadiran limonit, sehingga disebut sebagai tanah kuning. Penggalian yang lebih dalam menemukan batuan yang lebih fres, kimberlit yang terserpentinisasi, yang disebut oleh penambang sebagai tanah biru. Baik tanah kuning dan tanah biru adalah penghasil berlian prolifik. Setelah tanah kuning telah habis dieksploitasi, penambang pada masa akhir abad ke 19 secara tidak sengaja memotong bagian tanah biru dan menemukan berlian dengan kualitas dan kuantitas yang ekonomis.
Referensi:
- Bergman, S. C.; 1987: Lamproites and other potassium-rich igneous rocks: a review of their occurrences, mineralogy and geochemistry. In: Alkaline Igneous rocks, Fitton, J.G. and Upton, B.G.J (Eds.), Geological Society of London special publication No. 30. pp. 103–19
- Clement, C. R., 1982: A comparative geological study of some major kimberlite pipes in the Northern Cape and Orange free state. PhD Thesis, University of Cape Town.
- Clement, C. R., and Skinner, E.M.W. 1985: A textural-genetic classification of kimberlites. Transactions of the Geological Society of South Africa. pp. 403–409.
- James K. Russell, Lucy A. Porritt, Yan Lavallée, Donald B. Dingwell. Kimberlite ascent by assimilation-fuelled buoyancy. Nature, 2012; 481 (7381): 352 DOI: 10.1038/nature10740
- Mitchell, R. H., 1995: Kimberlites, orangeites, and related rocks. Plenum Press, New York.
- Mitchell, R. H.; Bergman, S. C. (1991). Petrology of Lamproites. New York: Plenum Press. ISBN 0-306-43556-X.
- Smith, C. B., 1983: Lead, strontium, and neodymium isotopic evidence for sources of African Cretaceous kimberlite, Nature, 304, pp 51–54.
- Edwards, C. B., Howkins, J.B., 1966. Kimberlites in Tanganyika with special reference to the Mwadui occurrence. Econ. Geol., 61:537-554.
- Nixon, P.H., 1995. The morphology and nature of primary diamondiferous occurrences. Journal of Geochemical Exoloration, 53: 41-71
- Wagner, P. A., 1914: The diamond fields of South Africa; Transvaal Leader, Johannesberg.
- Woolley, A.R., Bergman, S.C., Edgar, AD, Le Bas, M.J., Mitchell, R.H., Rock, N.M.S. & Scott Smith, B.H., 1996. Classification of lamprophyres, lamproites, kimberlites, and the kalsilitic, melilitic, and leucitic rocks. The Canadian Mineralogist, Vol 34, Part 2. pp. 175–186.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.