Friday, December 20, 2019

#kejiwaan #psikologi #islam



JUMAT, 20 DESEMBER 2019

Ilustrasi: Tari sufi karya seorang fotografer Perempuan kelahiran Iran: Mozhde Nourmohammadi.

Islam itu berkarakter moderat dalam makna proposional. Sehingga jika tidak moderat, maka itu sebenarnya bukan watak Islam yang sesungguhnya.
Islam yang moderat ini adalah buah dari keseimbangan pendayagunaan potensi kemanusiaan.

Manusia tentu menghajatkan kebahagiaan, dan untuk menujunya dihajatkan akhlak mulia dengan memoderasi potensi kemanusiaan. Akhlak mulia itu adalah empat potensi daya utama. Ada empat induk keutamaan, yaitu kebijaksanaan (hikmah), keberanian (syaja’ah), pemeliharaan diri (‘iffah), dan keseimbangan (‘adalah).

Dalam telaah Imam Al-Ghazali (w. 505 H), dinyatakan bahwa jiwa moderat (al-‘adalah) itu adalah cerminan keberhasilan memadukan tiga daya manusia. Daya akal yang dimoderasi akan membuahkan akhlak yang penuh hikmah (bijaksana). Daya ghadhab (emosi) yang dimoderasi akan melahirkan akhlak syajaa’h (keberanian), dan daya syahwat (hasrat) akan melahirkan akhlak ‘iffah (penjagaan diri).

Kebijaksanaan adalah moderasi kekuatan akal, keberanian adalah moderasi kekuatan nafsu amarah, pemeliharaan diri adalah moderasi daya syahwat, dan moderasi ketiganya disebut tawasuth, atau proposional.

Moderasi akal yang melahirkan hikmah, selaras dengan surat An-Nahl ayat 125, ‘Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan’ yang maksudnya adalah mengajak dengan hikmah ilmu, dan bukan dengan kebodohan.

Akal yang dimoderasikan akan melahirkan hikmah atau kebijaksanaan. Dengan demikian capaian puncak akal atau capaian tertinggi kecerdasan itu adalah kebijaksanaan.

Abdullah Ibnu Abbas, w. 68 H, pakar tafsir Al-Qur’an, sepupu Rasulullah, pernah menyatakan bahwa puncak akal itu ada tiga, sebagaimana antara lain tersebut dalam karya Syekh Abu Laits as-Samarqandy (w. 393 H), Tanbihul Ghafilin,
Abdullah ibnu Abbas (dalam kajian tafsir ada tiga nama Abdullah yang terkenal: 

Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Mas’ud) ditanya, “Wahai Ibnu Abbas, apakah ‘puncak akal’ (Ra’s al-‘Aql) itu?”

Ibnu Abbas menjawab (tiga hal):

Pertama, ketika seseorang memaafkan orang yang menzaliminya (an ya’fuwa al-rajulu ‘aman dzalamahu);

Kedua, ketika ia merendahkan hati pada orang yang di bawahnya (an yatawadla’a li man dunahu);

Ketiga, ketika ia menimbang pikir kemudian baru berkata (an yatadabbara tsumma yatakallama).

Demikianlah, manusia yang mendayagunakan akalnya dengan proposional akan melahirkan akhlak yang mulia yaitu menjadi sosok pemaaf, rendah hati, dan bijaksana sebagaimana dinyatakan Ibnu Abbas.

Dus, agar manusia senantiasa bahagia jiwanya, ia hendaknya menyeimbangkan pendayagunaan tiga potensi, yaitu akal, emosi, dan hasrat. Akal yang tidak didayagunakan secara baik akan melahirkan manusia yang sombong dan durhaka, emosi yang tidak digunakan dengan baik akan membawa manusia pada kesembronoan tindakan, dan hasrat yang tidak terkendali akan membawa manusia pada pemuasan nafsu kebinatangan.

Keseimbangan potensi akal, emosi, dan hasrat akan membawa manusia pada keutamaan jiwa atau empat kebajikan utama yang meliputi kebijaksanaan, keberanian, keterjagaan diri, dan moderasi ketiga potensi itu akhirnya membawa pada proposionalitas akhlak dan sikap.



No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.