Tujuh tahun berkeliling dunia, menapaki jejak leluhur pengembara kita.
OLEH PAUL SALOPEK
FOTO OLEH JOHN STANMEYER
FOTO OLEH JOHN STANMEYER
Keluar dari nirwana
Berjalan adalah terjun ke depan.
Setiap langkah adalah rem darurat yang menahan agar kami tidak terjerembap. Dengan cara ini, berjalan menjadi wujud keimanan. Kami melakukannya setiap hari: mukjizat dua ketukan—mengangkat dan menapakkan kaki, bertahan sejenak, lalu melepaskan diri. Selama tujuh tahun mendatang, saya akan terjun melintasi dunia.
Saya tengah berada dalam sebuah perjalanan. Memburu sebuah gagasan, kisah, angan-angan, mungkin legenda. Mengejar-ngejar hantu. Berawal dari tempat asal manusia, yakni Great Rift Valley—Lembah Celah Besar—di Afrika Timur, saya berjalan kaki mengikuti jejak para leluhur yang pertama kali menjelajahi Bumi sekitar 60.000 tahun silam. Sejauh ini, inilah perjalanan terbesar kami. Bukan karena perjalanan ini menunjukkan bagaimana kita menguasai planet ini. Tidak. Melainkan karena Homo sapiens awal yang pertama kalinya berkelana ke luar benua asal—pelopor kaum nomaden yang jumlah totalnya hanya sekitar dua ratus orang. Mereka juga menganugerahkan kepada kita sifat-sifat terhalus yang kini diasosiasikan dengan ciri-ciri manusia yang utuh: bahasa yang kompleks, cara berpikir abstrak, dorongan untuk berkesenian, kecemerlangan dalam inovasi teknologi, dan keanekaragaman ras yang ada saat ini.
Kita hanya memiliki sekelumit pengetahuan tentang mereka. Mereka menyeberangi selat bernama Babul Mandeb—“gerbang nestapa” yang memisahkan Benua Afrika dengan daratan Arabia—kemudian jumlah mereka meledak, hanya dalam 2.500 generasi, sekejap mata menurut hitungan geologi, dan merambah bagian-bagian paling terpencil planet ini.
Ribuan tahun berlalu, saya mengikuti mereka.
Memanfaatkan bukti fosil dan ilmu “genografi”—ilmu yang menganalisis DNA manusia modern untuk melacak diaspora manusia purba—saya akan berjalan kaki ke utara dari Afrika menuju Timur Tengah. Dari sana, rute antik saya mengarah ke timur melintasi dataran batu luas dari Asia hingga Cina, kemudian ke utara lagi menuju hamparan bayang-bayang biru mint Siberia. Dari Rusia, saya akan menumpang kapal menuju Alaska dan beringsut ke pesisir barat Dunia Baru untuk mencapai Tierra del Fuego, Cile, yang terkikis angin. Inilah daratan terujung yang berhasil dirambah oleh spesies kita. Saya akan berjalan kaki sejauh 33.000 kilometer.
Proyek ini, yang saya namai Out of Eden Walk (Keluar dari Nirwana), dilandasi oleh banyak alasan: untuk mempelajari kembali kontur planet kita dengan kecepatan langkah kaki manusia, yakni lima kilometer per jam. Untuk memperlambat laju. Untuk merenung. Untuk menulis. Saya akan berjalan, sebagaimana semua orang, untuk melihat apa yang ada di depan. Saya akan berjalan untuk mengenang.
Jalur-jalur kasar yang membelah gurun di Etiopia barangkali merupakan peninggalan tertua manusia di muka bumi. Orang-orang masih menggunakannya: mereka yang kelaparan, yang miskin, yang didera cuaca, para pria dan wanita yang dengan wajah hampa melarikan diri dari perang.
Hampir semiliar manusia melakukan pergerakan melintasi Bumi saat ini. Kita tengah menjalani migrasi massal terbesar sepanjang sejarah spesies kita. Di Kota Jibouti, pada malam hari para migran Afrika berdiri di antara tumpukan sampah di pinggir pantai. Mereka melambai-lambaikan telepon seluler, berusaha menangkap bocoran sinyal dari Somalia. Saya mendengar gumaman mereka: Oslo, Melbourne, Minnesota. Setelah 600 abad berlalu, kita masih mencari panduan, bahkan bantuan, dari mereka yang dahulu menyusuri jalan yang sama.
Berjalan adalah terjun ke depan.
Setiap langkah adalah rem darurat yang menahan agar kami tidak terjerembap. Dengan cara ini, berjalan menjadi wujud keimanan. Kami melakukannya setiap hari: mukjizat dua ketukan—mengangkat dan menapakkan kaki, bertahan sejenak, lalu melepaskan diri. Selama tujuh tahun mendatang, saya akan terjun melintasi dunia.
Saya tengah berada dalam sebuah perjalanan. Memburu sebuah gagasan, kisah, angan-angan, mungkin legenda. Mengejar-ngejar hantu. Berawal dari tempat asal manusia, yakni Great Rift Valley—Lembah Celah Besar—di Afrika Timur, saya berjalan kaki mengikuti jejak para leluhur yang pertama kali menjelajahi Bumi sekitar 60.000 tahun silam. Sejauh ini, inilah perjalanan terbesar kami. Bukan karena perjalanan ini menunjukkan bagaimana kita menguasai planet ini. Tidak. Melainkan karena Homo sapiens awal yang pertama kalinya berkelana ke luar benua asal—pelopor kaum nomaden yang jumlah totalnya hanya sekitar dua ratus orang. Mereka juga menganugerahkan kepada kita sifat-sifat terhalus yang kini diasosiasikan dengan ciri-ciri manusia yang utuh: bahasa yang kompleks, cara berpikir abstrak, dorongan untuk berkesenian, kecemerlangan dalam inovasi teknologi, dan keanekaragaman ras yang ada saat ini.
Kita hanya memiliki sekelumit pengetahuan tentang mereka. Mereka menyeberangi selat bernama Babul Mandeb—“gerbang nestapa” yang memisahkan Benua Afrika dengan daratan Arabia—kemudian jumlah mereka meledak, hanya dalam 2.500 generasi, sekejap mata menurut hitungan geologi, dan merambah bagian-bagian paling terpencil planet ini.
Ribuan tahun berlalu, saya mengikuti mereka.
Memanfaatkan bukti fosil dan ilmu “genografi”—ilmu yang menganalisis DNA manusia modern untuk melacak diaspora manusia purba—saya akan berjalan kaki ke utara dari Afrika menuju Timur Tengah. Dari sana, rute antik saya mengarah ke timur melintasi dataran batu luas dari Asia hingga Cina, kemudian ke utara lagi menuju hamparan bayang-bayang biru mint Siberia. Dari Rusia, saya akan menumpang kapal menuju Alaska dan beringsut ke pesisir barat Dunia Baru untuk mencapai Tierra del Fuego, Cile, yang terkikis angin. Inilah daratan terujung yang berhasil dirambah oleh spesies kita. Saya akan berjalan kaki sejauh 33.000 kilometer.
Proyek ini, yang saya namai Out of Eden Walk (Keluar dari Nirwana), dilandasi oleh banyak alasan: untuk mempelajari kembali kontur planet kita dengan kecepatan langkah kaki manusia, yakni lima kilometer per jam. Untuk memperlambat laju. Untuk merenung. Untuk menulis. Saya akan berjalan, sebagaimana semua orang, untuk melihat apa yang ada di depan. Saya akan berjalan untuk mengenang.
Jalur-jalur kasar yang membelah gurun di Etiopia barangkali merupakan peninggalan tertua manusia di muka bumi. Orang-orang masih menggunakannya: mereka yang kelaparan, yang miskin, yang didera cuaca, para pria dan wanita yang dengan wajah hampa melarikan diri dari perang.
Hampir semiliar manusia melakukan pergerakan melintasi Bumi saat ini. Kita tengah menjalani migrasi massal terbesar sepanjang sejarah spesies kita. Di Kota Jibouti, pada malam hari para migran Afrika berdiri di antara tumpukan sampah di pinggir pantai. Mereka melambai-lambaikan telepon seluler, berusaha menangkap bocoran sinyal dari Somalia. Saya mendengar gumaman mereka: Oslo, Melbourne, Minnesota. Setelah 600 abad berlalu, kita masih mencari panduan, bahkan bantuan, dari mereka yang dahulu menyusuri jalan yang sama.
Herto Bouri, Etiopia
“Ke mana Anda akan berjalan?” tanya seorang penggembala Afar.
“Utara. Ke Jibouti.” (Kami tidak mengatakan Tierra del Fuego. Tempat itu terlampau jauh—percuma jika disebutkan.)
“Anda gila, ya? Atau sakit?”
Sebagai jawaban, Mohamed Elema Hessan—yang berpenampilan menawan, pemandu dan pelindung saya selama menembus Segitiga Afar nan meranggas—membungkuk dan tergelak. Dialah yang mengendalikan mikro-karavan kami: dua ekor unta kerempeng.
Proyek ini, bagi Elema, adalah sebuah lelucon menggelikan—sebuah anekdot kosmik. Berjalan kaki selama tujuh tahun! Lintas benua! Dia menikmati kekonyolannya. Ini wajar. Terutama akibat kebodohan yang terjadi tatkala kami berangkat tadi.
Saya terbangun sebelum fajar dan melihat salju: tebal, pekat, mencekik, membutakan. Ternyata itu debu. Ratusan hewan di kampung Elema menghasilkan awan debu selembut bedak bayi. Kambing, domba, unta—sayangnya, bukan unta kami.
Unta-unta pengangkut perbekalan yang telah saya sewa berbulan-bulan sebelumnya (persiapan kunci dalam sebuah proyek yang menghabiskan beribu-ribu jam perencanaan) tidak terlihat di mana pun. Pawang mereka, dua orang nomaden bernama Mohamed Aidahis dan Kader Yarri, juga tiada. Mereka tidak pernah muncul.
Kami pun hanya bisa duduk di tengah kepulan debu, menunggu. Matahari kian tinggi. Udara semakin panas. Lalat-lalat mengerumuni kami. Di timur, di seberang Celah, perbatasan pertama kami, Jibouti, menjauh dua sentimeter setiap tahun—secepat Arabia menjauh dari Afrika.
Anda gila, ya? Atau sakit? Ya? Tidak? Mungkin?
Segitiga Afar di timur laut Etiopia dihindari orang karena keadaannya sekering bulan. Suhunya 49o C. Pantulan sinar dari lapisan garam di dasar kubangan kering begitu cemerlang hingga membakar mata. Namun hari ini hujan. Saya dan Elema tidak membawa tenda kedap air. Kami punya sehelai bendera Etiopia, yang oleh Elema dipakai menyelimuti diri selama dia berjalan. Setelah berhasil menemukan dua ekor unta untuk disewa, Kami tertatih-tatih melewati pepohonan akasia yang cokelat tersiram air hujan hangat.
Sekitar 20 kilometer kemudian, Elema meminta izin untuk pulang. Dia lupa membawa sepatu jalan Amerika barunya. Dan senternya. Dan topinya—dan ponselnya. Dari kamp pertama kami, dia mencari tumpangan ke desanya untuk mengambil benda-benda penting itu. Lalu dia berlari menyusul saya.
Mustahil untuk mengingat setiap detail dalam perjalanan berskala sebesar ini. Saya sendiri melupakan banyak hal—kantong nilon, misalnya. Akibatnya saya harus memulai perjalanan keluar dari Afrika ini dengan bagasi pesawat, terikat di punggung unta.
Para ilmuwan di proyek riset Middle Awash mengundang kami untuk memulai perjalanan di Herto Bouri, kilometer nol simbolik kami di Celah Etiopia. Di sinilah salah satu area dengan kandungan fosil tulang manusia terkaya di dunia. Di situs ternama ini, sebagian fosil manusia tertua ditemukan. Homo sapiens idaltu. Punah 160.000 tahun silam. Leluhur bertulang besar—versi awal kita.
Para peneliti Middle Awash Project, menemukan sejumlah besar fosil hominin terpenting di zaman kita di Etiopia, termasuk Ardipithecus ramidus, makhluk berkaki dua yang hidup 4,4 juta tahun silam. Pemandu Afar saya yang tingkahnya sulit ditebak, Elema, adalah pemburu fosil kawakan mereka.
Dibesarkan dalam kebudayaan nomaden yang tersohor akan pejuang-pejuang tangguhnya, Elema menguasai tiga bahasa—Afar, Amharic, dan Inggris kasar beraksen kental yang dipelajarinya dari para ilmuwan Middle Awash. Dia berkali-kali mengucapkan “Wow” dan “Crazy, man” dan “Jeezus” saat menunjukkan lapisan tanah kunci di Celah. Dia seorang balabat—ketua adat—klan Bouri-Modaitu dari Afar. Di ponselnya tersimpan nomor para tokoh penting Etiopia dan akademikus Prancis. Dia adalah fenomena.
Kami tengah berkemah di Aduma ketika para ilmuwan Middle Awash menemui kami. Mereka datang untuk menunjukkan sebuah situs Zaman Batu Tengah.“Peralatan ini masih agak kuno untuk orang-orang yang Anda ikuti,” ujar Yonatan Sahle, peneliti Etiopia. “Tetapi teknologi mereka pada dasarnya sudah sama majunya. Mereka membuat senjata lempar yang memungkinkan mereka menaklukkan para hominin lain di luar Afrika.”
“Ke mana Anda akan berjalan?” tanya seorang penggembala Afar.
“Utara. Ke Jibouti.” (Kami tidak mengatakan Tierra del Fuego. Tempat itu terlampau jauh—percuma jika disebutkan.)
“Anda gila, ya? Atau sakit?”
Sebagai jawaban, Mohamed Elema Hessan—yang berpenampilan menawan, pemandu dan pelindung saya selama menembus Segitiga Afar nan meranggas—membungkuk dan tergelak. Dialah yang mengendalikan mikro-karavan kami: dua ekor unta kerempeng.
Proyek ini, bagi Elema, adalah sebuah lelucon menggelikan—sebuah anekdot kosmik. Berjalan kaki selama tujuh tahun! Lintas benua! Dia menikmati kekonyolannya. Ini wajar. Terutama akibat kebodohan yang terjadi tatkala kami berangkat tadi.
Saya terbangun sebelum fajar dan melihat salju: tebal, pekat, mencekik, membutakan. Ternyata itu debu. Ratusan hewan di kampung Elema menghasilkan awan debu selembut bedak bayi. Kambing, domba, unta—sayangnya, bukan unta kami.
Unta-unta pengangkut perbekalan yang telah saya sewa berbulan-bulan sebelumnya (persiapan kunci dalam sebuah proyek yang menghabiskan beribu-ribu jam perencanaan) tidak terlihat di mana pun. Pawang mereka, dua orang nomaden bernama Mohamed Aidahis dan Kader Yarri, juga tiada. Mereka tidak pernah muncul.
Kami pun hanya bisa duduk di tengah kepulan debu, menunggu. Matahari kian tinggi. Udara semakin panas. Lalat-lalat mengerumuni kami. Di timur, di seberang Celah, perbatasan pertama kami, Jibouti, menjauh dua sentimeter setiap tahun—secepat Arabia menjauh dari Afrika.
Anda gila, ya? Atau sakit? Ya? Tidak? Mungkin?
Segitiga Afar di timur laut Etiopia dihindari orang karena keadaannya sekering bulan. Suhunya 49o C. Pantulan sinar dari lapisan garam di dasar kubangan kering begitu cemerlang hingga membakar mata. Namun hari ini hujan. Saya dan Elema tidak membawa tenda kedap air. Kami punya sehelai bendera Etiopia, yang oleh Elema dipakai menyelimuti diri selama dia berjalan. Setelah berhasil menemukan dua ekor unta untuk disewa, Kami tertatih-tatih melewati pepohonan akasia yang cokelat tersiram air hujan hangat.
Sekitar 20 kilometer kemudian, Elema meminta izin untuk pulang. Dia lupa membawa sepatu jalan Amerika barunya. Dan senternya. Dan topinya—dan ponselnya. Dari kamp pertama kami, dia mencari tumpangan ke desanya untuk mengambil benda-benda penting itu. Lalu dia berlari menyusul saya.
Mustahil untuk mengingat setiap detail dalam perjalanan berskala sebesar ini. Saya sendiri melupakan banyak hal—kantong nilon, misalnya. Akibatnya saya harus memulai perjalanan keluar dari Afrika ini dengan bagasi pesawat, terikat di punggung unta.
Para ilmuwan di proyek riset Middle Awash mengundang kami untuk memulai perjalanan di Herto Bouri, kilometer nol simbolik kami di Celah Etiopia. Di sinilah salah satu area dengan kandungan fosil tulang manusia terkaya di dunia. Di situs ternama ini, sebagian fosil manusia tertua ditemukan. Homo sapiens idaltu. Punah 160.000 tahun silam. Leluhur bertulang besar—versi awal kita.
Para peneliti Middle Awash Project, menemukan sejumlah besar fosil hominin terpenting di zaman kita di Etiopia, termasuk Ardipithecus ramidus, makhluk berkaki dua yang hidup 4,4 juta tahun silam. Pemandu Afar saya yang tingkahnya sulit ditebak, Elema, adalah pemburu fosil kawakan mereka.
Dibesarkan dalam kebudayaan nomaden yang tersohor akan pejuang-pejuang tangguhnya, Elema menguasai tiga bahasa—Afar, Amharic, dan Inggris kasar beraksen kental yang dipelajarinya dari para ilmuwan Middle Awash. Dia berkali-kali mengucapkan “Wow” dan “Crazy, man” dan “Jeezus” saat menunjukkan lapisan tanah kunci di Celah. Dia seorang balabat—ketua adat—klan Bouri-Modaitu dari Afar. Di ponselnya tersimpan nomor para tokoh penting Etiopia dan akademikus Prancis. Dia adalah fenomena.
Kami tengah berkemah di Aduma ketika para ilmuwan Middle Awash menemui kami. Mereka datang untuk menunjukkan sebuah situs Zaman Batu Tengah.“Peralatan ini masih agak kuno untuk orang-orang yang Anda ikuti,” ujar Yonatan Sahle, peneliti Etiopia. “Tetapi teknologi mereka pada dasarnya sudah sama majunya. Mereka membuat senjata lempar yang memungkinkan mereka menaklukkan para hominin lain di luar Afrika.”
Dalfagi, Etiopia
Di Segitiga Afar, Etiopia, harga air semahal emas. Inilah salah satu gurun terpanas dan terkering di dunia. Selama tiga hari berjalan kaki di dekat tebing curam di bagian barat Celah, saya dan Elema hanya menemukan satu mukjizat berwujud kubangan air hujan berlumpur untuk menuntaskan dahaga unta-unta kami. Namun, keesokan harinya, tanpa dinyana kami menemukan sebuah oasis elektron, Desa Dalifagi.
Hamparan luas padang garam yang menyelimuti perbatasan Etiopia, Jibouti, dan Eritrea, baru dipetakan pada 1920-an. Selama berabad-abad, para penggembala Afar perkasa yang menguasai wilayah ini menolak segala bentuk hubungan dengan dunia luar.
Namun, saat ini, selain menyandang persenjataan berupa belati tajam dan senapan Kalashnikov, mereka juga membawa ponsel.
Mereka menyambut peranti komunikasi instan itu dengan sukacita. “Ponsel memberi mereka kuasa,” ujar Mulukan Ayalu, 23, teknisi pemerintah Etiopia yang mengelola pembangkit listrik kecil di Dalifagi. “Mereka bisa menelepon pedagang kambing, menentukan harga jual.”
Generator diesel di Dalifagi menghasilkan arus listrik berkekuatan 220 volt selama enam jam per hari. Ayalu mengisi ulang baterai ponsel penduduk nomaden dengan biaya beberapa sen. Setiap Senin, orang-orang Afar berpenampilan sangar mengantre di depan pintu kantornya.
Orang-orang nomaden itu ketagihan ponsel. “Hallow? Hallow?” Elema berseru ke ponselnya di tengah jalan, pembicaraannya tentang arah menuju sebuah sumur kuno.
Oasis elektronik di Dalfagi itulah kisah nyata di Afrika sub-Sahara saat ini. Sembilan ratus juta manusia. Lesatan menuju era digital. Ledakan aspirasi. Konsekuensinya belum diketahui.
Di Segitiga Afar, Etiopia, harga air semahal emas. Inilah salah satu gurun terpanas dan terkering di dunia. Selama tiga hari berjalan kaki di dekat tebing curam di bagian barat Celah, saya dan Elema hanya menemukan satu mukjizat berwujud kubangan air hujan berlumpur untuk menuntaskan dahaga unta-unta kami. Namun, keesokan harinya, tanpa dinyana kami menemukan sebuah oasis elektron, Desa Dalifagi.
Hamparan luas padang garam yang menyelimuti perbatasan Etiopia, Jibouti, dan Eritrea, baru dipetakan pada 1920-an. Selama berabad-abad, para penggembala Afar perkasa yang menguasai wilayah ini menolak segala bentuk hubungan dengan dunia luar.
Namun, saat ini, selain menyandang persenjataan berupa belati tajam dan senapan Kalashnikov, mereka juga membawa ponsel.
Mereka menyambut peranti komunikasi instan itu dengan sukacita. “Ponsel memberi mereka kuasa,” ujar Mulukan Ayalu, 23, teknisi pemerintah Etiopia yang mengelola pembangkit listrik kecil di Dalifagi. “Mereka bisa menelepon pedagang kambing, menentukan harga jual.”
Generator diesel di Dalifagi menghasilkan arus listrik berkekuatan 220 volt selama enam jam per hari. Ayalu mengisi ulang baterai ponsel penduduk nomaden dengan biaya beberapa sen. Setiap Senin, orang-orang Afar berpenampilan sangar mengantre di depan pintu kantornya.
Orang-orang nomaden itu ketagihan ponsel. “Hallow? Hallow?” Elema berseru ke ponselnya di tengah jalan, pembicaraannya tentang arah menuju sebuah sumur kuno.
Oasis elektronik di Dalfagi itulah kisah nyata di Afrika sub-Sahara saat ini. Sembilan ratus juta manusia. Lesatan menuju era digital. Ledakan aspirasi. Konsekuensinya belum diketahui.
Di dekat Sungai Talalak, Etiopia
Sepatu merupakan patokan identitas modern. Apakah cara terbaik untuk mengetahui nilai-nilai utama yang dianut seseorang pada awal abad ke-21? Lihatlah kakinya—jangan matanya.
Di negara-negara makmur bagian “utara bola dunia”, tempat gaya busana dipakai untuk menyampaikan setiap gagasan dan keinginan, sepatu menunjukkan kelas, pilihan karier, tingkat kekerenan, keadaan seksual, bahkan pilihan politik pemakainya (bakiak versus bot koboi). Maka, sungguh aneh rasanya berjalan melewati daerah tempat manusia mengenakan alas kaki bergaya sama setiap pagi: sandal plastik Etiopia yang murah, demokratis, dan kuat.
Harganya sebesar upah kerja di lapangan seharian (sekitar dua puluh ribu rupiah). Sejuk di kaki. Sandal sejuta umat pedesaan Etiopia itu sangat ringan. Dapat didaur ulang. Dan bisa diperbaiki sendiri oleh pemiliknya: Tali plastik yang lepas hanya perlu dilelehkan dan ditempelkan kembali.
Karavan dua unta kami—yang bernama A’urta, atau Seharga Sapi, dan Suma’atuli, Cap di Kuping—akhirnya bertemu dengan pawang mereka yang sempat hilang, Mohamed Aidahis dan Kader Yarri. Kedua pria itu menyusul kami dari tempat keberangkatan. Tidak ada penjelasan yang diberikan menyangkut penyebab keterlambatan mereka selama sepekan. Keduanya mengenakan sandal plastik khas negeri ini. Warna: hijau limau.
Di Dekat Hadar, Etiopia
Kami berjalan ke arah Harenso.
Dunia seakan-akan berubah saat kita kehausan. Menyusut. Mendangkal. Cakrawala mendekat. Otak yang kehausan menyusutkan jarak Celah, mengisap berkilo-kilometer jalan melalui mata, memperbesarnya, mencermatinya untuk mencari tanda-tanda keberadaan air.
Saya dan Elema telah tersuruk-suruk sejauh lebih dari 32 kilometer di tengah panas yang menyengat. Kami memisahkan diri dari unta pengangkut untuk mengunjungi sebuah situs arkeologi yang terletak di dataran rendah: Gona, lokasi ditemukannya peralatan batu tertua di dunia (umur: 2,6 juta tahun). Botol minum kami kosong. Kami kepanasan, kesal. Kami lebih banyak diam.
Sinar matahari mengebor kepala kami. Sebuah pepatah Afar: Kalau kau tersesat atau kehausan, sebaiknya kau terus berjalan di bawah sinar matahari, karena seseorang akan melihatmu pada akhirnya. Tergoda untuk berteduh, menjatuhkan diri di bawah salah satu dari 10.000 rumpun semak berduri, berarti maut: Tidak ada yang akan menemukanmu. Maka kami terus berjalan—hingga samar-samar terdengar embikan kambing. Jika ada kambing berarti ada manusia.
Tuan rumah kami: sekeluarga Afar yang berkemah di sebuah bukit. Dua wanita tangguh penuh senyum. Delapan bocah berbalut kain tipis kumal yang dahulu mungkin baju. Dan wanita renta—dia tidak mengetahui usianya—bungkuk mirip kurcaci yang berteduh di bawah tikar anyaman. Namanya Hasna. Dia mengundang kami untuk duduk bersamanya, mengistirahatkan tulang-belulang, membuka sepatu. Dari jeriken bobrok, dia menuangkan air untuk kami—penuh endapan dan hangat, namun tetap berharga. Dia menawarkan segenggam buah beri kuning dari pohon liar yang tumbuh di lembah. Dia ibu kita.
Ketika leluhur kita berkelana di Afrika sekitar 60.000 tahun silam, mereka bertemu dengan spesies lain, yakni hominis. Kala itu dunia dihuni oleh sepupu-sepupu asing kita: Homo neanderthalensis, Homo floresiensis, Denisovan, dan mungkin manusia yang tidak terlalu mirip dengan kita.
Ketika kita bertemu dengan mereka, barangkali dengan cara seperti ini, di atas sebuah bukit terpencil, apakah kita berbagi air minum, atau bahkan berhubungan badan dengan damai, seperti yang diperkirakan oleh sebagian ahli genetika? (Di luar Afrika, populasi manusia modern cenderung mengandung sekitar 2,5 persen DNA Neanderthal.) Ataukah kita memerkosa dan membunuhnya? Di dalam sebuah gua yang dihuni oleh manusia modern, pernah ditemukan sepotong tulang rahang Neanderthal yang memiliki bekas tebasan, barangkali akibat kanibalisme. Para ilmuwan masih memperdebatkan teka-teki ini. Tetapi yang jelas, hanya kita yang bertahan untuk menguasai Bumi. Tetapi, ada harga yang harus dibayar: Kita sebatang kara.
Sepatu merupakan patokan identitas modern. Apakah cara terbaik untuk mengetahui nilai-nilai utama yang dianut seseorang pada awal abad ke-21? Lihatlah kakinya—jangan matanya.
Di negara-negara makmur bagian “utara bola dunia”, tempat gaya busana dipakai untuk menyampaikan setiap gagasan dan keinginan, sepatu menunjukkan kelas, pilihan karier, tingkat kekerenan, keadaan seksual, bahkan pilihan politik pemakainya (bakiak versus bot koboi). Maka, sungguh aneh rasanya berjalan melewati daerah tempat manusia mengenakan alas kaki bergaya sama setiap pagi: sandal plastik Etiopia yang murah, demokratis, dan kuat.
Harganya sebesar upah kerja di lapangan seharian (sekitar dua puluh ribu rupiah). Sejuk di kaki. Sandal sejuta umat pedesaan Etiopia itu sangat ringan. Dapat didaur ulang. Dan bisa diperbaiki sendiri oleh pemiliknya: Tali plastik yang lepas hanya perlu dilelehkan dan ditempelkan kembali.
Karavan dua unta kami—yang bernama A’urta, atau Seharga Sapi, dan Suma’atuli, Cap di Kuping—akhirnya bertemu dengan pawang mereka yang sempat hilang, Mohamed Aidahis dan Kader Yarri. Kedua pria itu menyusul kami dari tempat keberangkatan. Tidak ada penjelasan yang diberikan menyangkut penyebab keterlambatan mereka selama sepekan. Keduanya mengenakan sandal plastik khas negeri ini. Warna: hijau limau.
Di Dekat Hadar, Etiopia
Kami berjalan ke arah Harenso.
Dunia seakan-akan berubah saat kita kehausan. Menyusut. Mendangkal. Cakrawala mendekat. Otak yang kehausan menyusutkan jarak Celah, mengisap berkilo-kilometer jalan melalui mata, memperbesarnya, mencermatinya untuk mencari tanda-tanda keberadaan air.
Saya dan Elema telah tersuruk-suruk sejauh lebih dari 32 kilometer di tengah panas yang menyengat. Kami memisahkan diri dari unta pengangkut untuk mengunjungi sebuah situs arkeologi yang terletak di dataran rendah: Gona, lokasi ditemukannya peralatan batu tertua di dunia (umur: 2,6 juta tahun). Botol minum kami kosong. Kami kepanasan, kesal. Kami lebih banyak diam.
Sinar matahari mengebor kepala kami. Sebuah pepatah Afar: Kalau kau tersesat atau kehausan, sebaiknya kau terus berjalan di bawah sinar matahari, karena seseorang akan melihatmu pada akhirnya. Tergoda untuk berteduh, menjatuhkan diri di bawah salah satu dari 10.000 rumpun semak berduri, berarti maut: Tidak ada yang akan menemukanmu. Maka kami terus berjalan—hingga samar-samar terdengar embikan kambing. Jika ada kambing berarti ada manusia.
Tuan rumah kami: sekeluarga Afar yang berkemah di sebuah bukit. Dua wanita tangguh penuh senyum. Delapan bocah berbalut kain tipis kumal yang dahulu mungkin baju. Dan wanita renta—dia tidak mengetahui usianya—bungkuk mirip kurcaci yang berteduh di bawah tikar anyaman. Namanya Hasna. Dia mengundang kami untuk duduk bersamanya, mengistirahatkan tulang-belulang, membuka sepatu. Dari jeriken bobrok, dia menuangkan air untuk kami—penuh endapan dan hangat, namun tetap berharga. Dia menawarkan segenggam buah beri kuning dari pohon liar yang tumbuh di lembah. Dia ibu kita.
Ketika leluhur kita berkelana di Afrika sekitar 60.000 tahun silam, mereka bertemu dengan spesies lain, yakni hominis. Kala itu dunia dihuni oleh sepupu-sepupu asing kita: Homo neanderthalensis, Homo floresiensis, Denisovan, dan mungkin manusia yang tidak terlalu mirip dengan kita.
Ketika kita bertemu dengan mereka, barangkali dengan cara seperti ini, di atas sebuah bukit terpencil, apakah kita berbagi air minum, atau bahkan berhubungan badan dengan damai, seperti yang diperkirakan oleh sebagian ahli genetika? (Di luar Afrika, populasi manusia modern cenderung mengandung sekitar 2,5 persen DNA Neanderthal.) Ataukah kita memerkosa dan membunuhnya? Di dalam sebuah gua yang dihuni oleh manusia modern, pernah ditemukan sepotong tulang rahang Neanderthal yang memiliki bekas tebasan, barangkali akibat kanibalisme. Para ilmuwan masih memperdebatkan teka-teki ini. Tetapi yang jelas, hanya kita yang bertahan untuk menguasai Bumi. Tetapi, ada harga yang harus dibayar: Kita sebatang kara.
Dubti, Etiopia
Setelah berjalan lurus ke utara, kemudian ke timur, kami meninggalkan gurun dan menjejakkan kaki ke masa Antroposen—zaman manusia modern.
Aspal mulai tampak: jalan Jibouti-Etiopia yang bergetar bersama deru truk-truk. Kami melewati kota-kota kotor. Debu dan diesel.
Kemudian, di dekat Dubti: tembok pohon tebu. Berkilo-kilometer irigasi industri. Kanal-kanal. Tanggul-tanggul pengalih aliran air. Ladang-ladang yang sudah diratakan dengan buldoser. Elema kehilangan arah. Malam menyelimuti kami. Sedari tadi, kami dan kedua unta kami hanya berputar-putar saja. “Wow, man!” Elema berseru gusar. “Yang benar saja! Terlalu banyak perubahan!”
Ini adalah pabrik gula Tendaho yang bernilai jutaan dolar, sebuah proyek kerja sama Etiopia-India yang menjadikan Segitiga Afar berkembang pesat. Lima puluh ribu pekerja migran akan segera membanting tulang di sini. Pada saatnya nanti, pabrik itu akan menjadikan Etiopia produsen gula terbesar keenam di dunia. Etiopia pun akan terbebas dari ketergantungannya pada bantuan dari luar negeri.
Tetapi, keuntungan dari kemajuan ekonomi jarang dibagikan secara adil kepada semua pihak yang terlibat. Ada pemenang dan pecundang dalam setiap rencana perbaikan. Di sini, salah satu pecundangnya adalah seorang wanita muda Afar yang cerdas. “Pabrik menggusur kami,” katanya kepada kami seraya melambai ke hamparan pohon tebu. “Kami, orang-orang Afar, memang diberi pekerjaan, tapi yang terkasar. Penjaga malam. Buruh cangkul.”
Rata-rata upah di pabrik gula: 200 ribu rupiah per bulan. Kata gadis itu, polisi datang dan mengusir orang-orang Afar yang menolak pindah. Baku tembak terjadi. Darah tumpah dari kedua belah pihak.
Setua apakah kisah ini? Ini adalah salah satu kisah tertua di dunia. Manusia membentuk ulang dunia dalam sebuah siklus perubahan yang mengelupas ingatan bersama lapisan teratas tanah.
Dubti adalah daerah perbatasan yang sibuk dan hijau. Seluruh Etiopia berbondong-bondong mendatanginya, berbekal harapan baru, selera, ambisi, dan masa depan baru—sejarah baru.
Setelah berjalan lurus ke utara, kemudian ke timur, kami meninggalkan gurun dan menjejakkan kaki ke masa Antroposen—zaman manusia modern.
Aspal mulai tampak: jalan Jibouti-Etiopia yang bergetar bersama deru truk-truk. Kami melewati kota-kota kotor. Debu dan diesel.
Kemudian, di dekat Dubti: tembok pohon tebu. Berkilo-kilometer irigasi industri. Kanal-kanal. Tanggul-tanggul pengalih aliran air. Ladang-ladang yang sudah diratakan dengan buldoser. Elema kehilangan arah. Malam menyelimuti kami. Sedari tadi, kami dan kedua unta kami hanya berputar-putar saja. “Wow, man!” Elema berseru gusar. “Yang benar saja! Terlalu banyak perubahan!”
Ini adalah pabrik gula Tendaho yang bernilai jutaan dolar, sebuah proyek kerja sama Etiopia-India yang menjadikan Segitiga Afar berkembang pesat. Lima puluh ribu pekerja migran akan segera membanting tulang di sini. Pada saatnya nanti, pabrik itu akan menjadikan Etiopia produsen gula terbesar keenam di dunia. Etiopia pun akan terbebas dari ketergantungannya pada bantuan dari luar negeri.
Tetapi, keuntungan dari kemajuan ekonomi jarang dibagikan secara adil kepada semua pihak yang terlibat. Ada pemenang dan pecundang dalam setiap rencana perbaikan. Di sini, salah satu pecundangnya adalah seorang wanita muda Afar yang cerdas. “Pabrik menggusur kami,” katanya kepada kami seraya melambai ke hamparan pohon tebu. “Kami, orang-orang Afar, memang diberi pekerjaan, tapi yang terkasar. Penjaga malam. Buruh cangkul.”
Rata-rata upah di pabrik gula: 200 ribu rupiah per bulan. Kata gadis itu, polisi datang dan mengusir orang-orang Afar yang menolak pindah. Baku tembak terjadi. Darah tumpah dari kedua belah pihak.
Setua apakah kisah ini? Ini adalah salah satu kisah tertua di dunia. Manusia membentuk ulang dunia dalam sebuah siklus perubahan yang mengelupas ingatan bersama lapisan teratas tanah.
Dubti adalah daerah perbatasan yang sibuk dan hijau. Seluruh Etiopia berbondong-bondong mendatanginya, berbekal harapan baru, selera, ambisi, dan masa depan baru—sejarah baru.
Di dekat perbatasan Etiopia-Jibouti
Kami berkemah di lereng Gunung Fatuma, benteng basalt berpemandangan jalan karavan yang mengarah ke timur menuju kesultanan pantai tua Tadjoura. Negara republik kecil Jibouti membentang di bawah kami: terpanggang matahari, lebih panas dan kering daripada gurun di Etiopia. Di tempat inilah saya berpisah dengan kedua pawang unta Afar dari Herto Bouri.
Elema, Yarri, dan Aidahis telah menyatakan kesiapan mereka untuk terus maju. Tetapi itu mustahil. Mereka tidak memiliki paspor, dokumen, dan pernyataan di atas kertas apa pun tentang identitas mereka.
Seperti apakah rasanya berjalan kaki mengelilingi dunia?
Seperti pagi ini: Membuka mata dan melihat langit yang membentang tanpa batas, hari demi hari; ketika kita pertama kali membuka mata, seakan-akan menyedot kita ke atas, keluar dari raga. Seperti jelasnya rasa lapar.
Kami berjalan kaki sejauh 29 kilometer kemarin dengan perbekalan minim, hanya semangkuk mi dan segenggam biskuit untuk masing-masing orang. Cincin kawin saya, yang semula menempel ketat di jari, kini terasa longgar. Seperti belajar membaca lanskap alam dengan seluruh badan dan kulit. Kami merasakan keberadaan makanan unta di tengah semak berduri, kedatangan debu di aroma angin, dan tentu saja, air yang berharga. Seperti menyaksikan keabadian Afrika berlalu seiring langkah kaki. Samar-samar kami menyadari bahwa, walaupun hanya berkecepatan lima kilometer per jam, laju ini masih terlalu cepat.
Pada hari-hari baik, kami berempat menyadari keberuntungan luar biasa. Kami meluncur menuruni jalan-jalan pegunungan yang curam, nyaris berlari, dengan kilap gurun Etiopia di kaki. Kami berlomba membuat gema ternyaring di ngarai-ngarai berdinding batu hitam. Kemudian kami saling memandang, tiga pria Afar dan satu pria dari belahan Bumi lain, kemudian menyeringai seperti bocah.
Seperti apakah rasanya berjalan kaki mengelilingi dunia? Seperti ini. Seperti permainan serius. Saya akan merindukan mereka.
Kami berkemah di lereng Gunung Fatuma, benteng basalt berpemandangan jalan karavan yang mengarah ke timur menuju kesultanan pantai tua Tadjoura. Negara republik kecil Jibouti membentang di bawah kami: terpanggang matahari, lebih panas dan kering daripada gurun di Etiopia. Di tempat inilah saya berpisah dengan kedua pawang unta Afar dari Herto Bouri.
Elema, Yarri, dan Aidahis telah menyatakan kesiapan mereka untuk terus maju. Tetapi itu mustahil. Mereka tidak memiliki paspor, dokumen, dan pernyataan di atas kertas apa pun tentang identitas mereka.
Seperti apakah rasanya berjalan kaki mengelilingi dunia?
Seperti pagi ini: Membuka mata dan melihat langit yang membentang tanpa batas, hari demi hari; ketika kita pertama kali membuka mata, seakan-akan menyedot kita ke atas, keluar dari raga. Seperti jelasnya rasa lapar.
Kami berjalan kaki sejauh 29 kilometer kemarin dengan perbekalan minim, hanya semangkuk mi dan segenggam biskuit untuk masing-masing orang. Cincin kawin saya, yang semula menempel ketat di jari, kini terasa longgar. Seperti belajar membaca lanskap alam dengan seluruh badan dan kulit. Kami merasakan keberadaan makanan unta di tengah semak berduri, kedatangan debu di aroma angin, dan tentu saja, air yang berharga. Seperti menyaksikan keabadian Afrika berlalu seiring langkah kaki. Samar-samar kami menyadari bahwa, walaupun hanya berkecepatan lima kilometer per jam, laju ini masih terlalu cepat.
Pada hari-hari baik, kami berempat menyadari keberuntungan luar biasa. Kami meluncur menuruni jalan-jalan pegunungan yang curam, nyaris berlari, dengan kilap gurun Etiopia di kaki. Kami berlomba membuat gema ternyaring di ngarai-ngarai berdinding batu hitam. Kemudian kami saling memandang, tiga pria Afar dan satu pria dari belahan Bumi lain, kemudian menyeringai seperti bocah.
Seperti apakah rasanya berjalan kaki mengelilingi dunia? Seperti ini. Seperti permainan serius. Saya akan merindukan mereka.
Ladang lava Ardoukoba, Jibouti
Kematian menyapa pada hari ke-42 perjalanan ini. Ada lima, enam, tujuh orang—pria dan wanita yang tergeletak dengan wajah menengadah, menelungkup, di ladang lava hitam seolah-olah jatuh dari langit. Semuanya telanjang. Mereka melucuti pakaian di tengah kekalutan. Kulit mayat-mayat itu kering kerontang, terbakar dan menguning. Anjing-anjing liar yang datang pada malam hari telah menggondol tangan, kaki mereka. Mereka mungkin orang Etiopia. Atau Somalia. Beberapa di antaranya, mungkin, orang Eritrea.
Mereka tengah berjalan ke timur. Mereka hendak pergi ke Teluk Aden—mencari kapal-kapal terbuka milik orang-orang Yaman yang menyelundupkan penduduk miskin dari Afrika untuk menjadi pekerja kasar di Timur Tengah. Berapakah jumlah migran seperti mereka yang tewas di Segitiga Afar? Tidak ada yang tahu. Setidaknya terdapat 100.000 upaya penyeberangan ke Semenanjung Arabia setiap tahun, menurut PBB. Polisi memburu mereka. Mereka tersesat. Dahaga membunuh mereka.
“Kriminal!” Houssain Mohamed Houssain menyanggah saya. “Memalukan!”
Houssain adalah pemandu saya di Jibouti. Dia orang baik. Dia berjalan jauh di depan saya, mengibas-ngibaskan tongkatnya di langit. Saya berjalan santai di belakangnya.
Pakar demografi telah memperkirakan bahwa 93 persen dari seluruh manusia yang pernah hidup di dunia—lebih dari 100 miliar jiwa—sudah punah.
Sebagian besar umat manusia telah tiada. Gundukan sakit hati dan kejayaan berbaris di belakang kita. Walaupun saya sudah mengatakan bahwa saya berjalan kaki untuk mengingat, ini tidak sepenuhnya benar. Seraya terus mencoba menemukan kembali Bumi ini, kita juga harus memulai perjalanan untuk melupakan. Houssain tampaknya menyadari hal ini. Dia tidak pernah menengok ke belakang.
Sehari kemudian, kami tiba di Teluk Aden.
Pantai berkerikil kelabu. Ombak perak yang menghantam-hantam. Kami bersalaman. Kami tertawa. Houssain membuka sekantong kurma yang selama ini disimpannya. Kami berdiri di tepi Afrika. Saya menuliskan kalimat di jurnal: Saya bahagia.
Para penjelajah yang berani, tolol, dan putus asa. Kalian nyaris berhasil. Kalian jatuh lima kilometer dari pantai.
===
Paul Salopek, jurnalis pemenang Pulitzer Awards. Buku pertamanya yang ditulis berdasarkan perjalanan ini, A Walk Through Time, akan diterbitkan Random House pada 2016. John Stanmeyer, pernah menerima penghargaan Robert Capa dan Magazine Photographer of the Year.
Kematian menyapa pada hari ke-42 perjalanan ini. Ada lima, enam, tujuh orang—pria dan wanita yang tergeletak dengan wajah menengadah, menelungkup, di ladang lava hitam seolah-olah jatuh dari langit. Semuanya telanjang. Mereka melucuti pakaian di tengah kekalutan. Kulit mayat-mayat itu kering kerontang, terbakar dan menguning. Anjing-anjing liar yang datang pada malam hari telah menggondol tangan, kaki mereka. Mereka mungkin orang Etiopia. Atau Somalia. Beberapa di antaranya, mungkin, orang Eritrea.
Mereka tengah berjalan ke timur. Mereka hendak pergi ke Teluk Aden—mencari kapal-kapal terbuka milik orang-orang Yaman yang menyelundupkan penduduk miskin dari Afrika untuk menjadi pekerja kasar di Timur Tengah. Berapakah jumlah migran seperti mereka yang tewas di Segitiga Afar? Tidak ada yang tahu. Setidaknya terdapat 100.000 upaya penyeberangan ke Semenanjung Arabia setiap tahun, menurut PBB. Polisi memburu mereka. Mereka tersesat. Dahaga membunuh mereka.
“Kriminal!” Houssain Mohamed Houssain menyanggah saya. “Memalukan!”
Houssain adalah pemandu saya di Jibouti. Dia orang baik. Dia berjalan jauh di depan saya, mengibas-ngibaskan tongkatnya di langit. Saya berjalan santai di belakangnya.
Pakar demografi telah memperkirakan bahwa 93 persen dari seluruh manusia yang pernah hidup di dunia—lebih dari 100 miliar jiwa—sudah punah.
Sebagian besar umat manusia telah tiada. Gundukan sakit hati dan kejayaan berbaris di belakang kita. Walaupun saya sudah mengatakan bahwa saya berjalan kaki untuk mengingat, ini tidak sepenuhnya benar. Seraya terus mencoba menemukan kembali Bumi ini, kita juga harus memulai perjalanan untuk melupakan. Houssain tampaknya menyadari hal ini. Dia tidak pernah menengok ke belakang.
Sehari kemudian, kami tiba di Teluk Aden.
Pantai berkerikil kelabu. Ombak perak yang menghantam-hantam. Kami bersalaman. Kami tertawa. Houssain membuka sekantong kurma yang selama ini disimpannya. Kami berdiri di tepi Afrika. Saya menuliskan kalimat di jurnal: Saya bahagia.
Para penjelajah yang berani, tolol, dan putus asa. Kalian nyaris berhasil. Kalian jatuh lima kilometer dari pantai.
===
Paul Salopek, jurnalis pemenang Pulitzer Awards. Buku pertamanya yang ditulis berdasarkan perjalanan ini, A Walk Through Time, akan diterbitkan Random House pada 2016. John Stanmeyer, pernah menerima penghargaan Robert Capa dan Magazine Photographer of the Year.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.