Wednesday, March 12, 2014

Gagal? Kenapa Tidak?



Apalah arti kita tanpa kegagalan?

OLEH HANNAH BLOCH
FOTO OLEH ROBERT E. PEARY
Pada akhir abad ke-19, seorang insinyur Swedia yang terpesona oleh janji dan berbagai kemungkinan yang ditawarkan oleh teknologi, memperoleh sebuah gagasan radikal. "Kenapa saya tidak menerbangkan sebuah balon hidrogen dan menjadi orang pertama yang menginjakkan kaki di Kutub Utara?" Bertahun-tahun, para penjelajah mencoba mencapai daratan Kutub; banyak di antara mereka tewas dalam upaya tersebut.

Sebuah ekspedisi udara, pikir Salomon August Andreé, tidak akan berisiko sebesar itu. Maka, pada suatu hari berangin di Juli 1897, Andreé dan dua orang rekannya yang lebih muda me­masuki keranjang balon udara bergaris tengah 20 meter di Pulau Danes, bagian dari Kepulauan Svalbard.

Tim itu membekali diri dengan papan luncur, makanan untuk beberapa bulan, merpati-merpati pos untuk mengirim pesan, bahkan setelan tuksedo yang diharapkan Andreé akan dikenakannya pada akhir perjalanan. Selagi para jurnalis dan pendukung bersorak-sorai melepas kepergian mereka, tim itu melesat ke udara, terbang menuju tempat yang belum pernah dilihat manusia lain.

Saat balon naik, angin langsung menerjang­nya. Kabut beku membebaninya. Selama 65,5 jam Eagle terbang lambat, kadang-kadang melayang rendah di atas Samudra Arktika. Tiga puluh tiga tahun kemudian, sekelompok pemburu anjing laut menemukan jenazah beku Andreé dan awaknya—beserta kamera dan buku harian mereka, yang mengungkapkan bahwa mereka terpaksa mendarat di atas bongkahan es, 480 kilometer dari Kutub Utara. Ketiganya tewas dalam tiga bulan perjalanan darat yang berat ke selatan.

Kegagalan—yang senantiasa dihindari, selalu ditakuti, tetapi mustahil diabaikan—adalah momok yang menghantui setiap upaya penjelajahan. Namun, tanpa sengatan kegagalan yang mendorong kita untuk merenung dan berpikir ulang, kemajuan tak akan didapatkan.

Belakangan ini, kegagalan mulai dianggap sebagai sesuatu yang penting. Para pendidik memikirkan cara untuk membuat anak-anak lebih nyaman dalam menghadapi kegagalan. Sekolah bisnis memasukkannya ke dalam kurikulum mereka. Para psikolog mempelajari cara untuk mengatasinya, biasanya dengan tujuan untuk memperbaiki peluang kesuksesan.

Sesungguhnya kata "sukses" sendiri berasal dari bahasa Latin succedere, "yang mengikuti".Mengikuti apa? Ya, kegagalan. Yang satu tidak akan ada tanpa yang lain. Pakar oseanografi Robert Ballard, seorang veteran yang sudah menjalani 130 ekspedisi bawah laut dan menemukan Titanic, menyebut hubungan ini sebagai yin yang kesuksesan dan kegagalan.

Bahkan pada titik terbawahnya, kegagalan memberikan informasi untuk membantu kita mengulangi usaha dengan cara yang berbeda di lain waktu. "Saya mempelajari cara mendaki yang salah dalam empat kali percobaan men­capai puncak Everest," ujar pendaki Pete Athans, yang telah tujuh kali menginjakkan kaki di puncak gunung tertinggi di dunia itu. "Kegagalan memberi Anda kesempatan untuk memoles pendekatan Anda. Cara Anda dalam menghadapi risiko akan semakin pintar."

Kegagalan juga menjadi pengingat bahwa keberuntungan memegang peran dalam upaya apa pun. Alan Hikes, satu dari segelintir pendaki yang berhasil menaklukkan puncak-puncak gunung tertinggi di dunia, menyampaikan pendapatnya tentang nasib sial: lengannya patah, kakinya tertusuk dahan pohon, bersin hebat di dekat puncak Nanga Parbat berketinggian 8.126 di Pakistan sehingga ruas tulang belakangnya meleset dan harus menghentikan pendakian. "Saya bisa saja tewas," ia mengakui.

Bagi kebanyakan penjelajah, hanya ada satu kegagalan yang benar-benar berarti: tak pulang akibat kehilangan nyawa. Bagi orang awam seperti kita, akhir tragis semacam itu hanya dianggap sebagai imajinasi, alih-alih kesuksesan. Robert Falcon Scott, yang meninggal bersama timnya setelah menginjakkan kaki di Kutub Selatan pada 1912 dianggap sebagai pahlawan di Inggris. Orang-orang Australia tersentuh oleh kisah mencekam ekspedisi selatan-ke-utara pada abad ke-19, yang berakhir dengan kematian para pemimpin kelompok.

Kisah-kisah itu menempel di benak kita untuk alasan yang sama dengan kegagalan kita sendiri: "Kita mengingat kegagalan karena kita masih menganalisisnya," kata Ballard. Kesuksesan, di sisi lain, "cepat terlupakan."

Kegagalan riset ilmiah jarang dipublikasikan, karena reputasi dan pendanaan di masa depan ber­gantung pada persepsi kesuksesan. Namun, selama dekade terakhir, setidaknya enam jurnal—sebagian besar di bidang kedokteran dan konservasi—memuat kegagalan eksperimen, penelitian, dan uji coba klinis. Pemikirannya: Hasil "negatif" mendatangkan dampak positif.

Dunia bisnis telah memahami nilai hasil riset negatif, jika berbiaya rendah dan tak me­rusak. Untuk menggalakkan kewirausahaan, Bank ABN AMRO yang berpusat di Belanda mendirikan Institute of Brilliant Failures. Eli Lilly and Company, raksasa farmasi, mulai mencanangkan "perayaan hasil berfokus R&D"—pesta kegagalan—dua puluh tahun silam untuk menghormati data yang menumpuk dari uji coba atas obat yang tak berfungsi.

Para pemimpin bisnis kerap mencari pelajar­an mendasar dari kegagalan, tetapi mereka juga memperoleh keuntungan dari gambaran kebenaran yang lebih besar. Seorang profesor dari Harvard Business School, Nancy Koehn, setidaknya telah seratus kali menyampaikan kisah tentang penjelajah kutub kelahiran Irlandia, Ernest Shackleton. Ekspedisinya melintasi Antartika pada 1914-16 terhenti ketika kapalnya, Endurance, terperangkap di es. Shackleton mengubah tujuannya dari menjelajah, menjadi memastikan dirinya dan krunya pulang dengan selamat.

"Dilihat dari kacamata penjelajahan, ini sebuah kegagalan besar, bukan?" kata Koehn. "Tetapi kisah ini menginspirasi banyak orang sebagian justru karena kegagalannya. Di masa ini pelanggaran korporat jamak terjadi, dan perusahaan yang diminta bertanggung jawab kerap berkilah, "Itu bukan kesalahan kami." Tetapi Shackleton berakad, Demi Tuhan, saya akan membereskannya. Dia bertanggung jawab atas kekacauan itu." Shackleton membawa 27 anggota timnya pulang dengan selamat. "Dia manajer krisis yang andal," kata Koehn.

Kegigihan. Ketahanan. Kemampuan beradaptasi, dan manajemen krisis. Semuanya adalah kunci utama penjelajahan, juga kehidupan. Berfokus pada tujuan juga membantu: Penjelajah cenderung memandang jauh ke depan, menyadari kemungkinan kegagalan maupun kesuksesan. "Perlakukanlah keduanya dengan cara yang sama," nasihat Kipling dalam puisinya, If. "Begitulah perasaan saya," ujar penjelajah gua Kenny Broad. Banyak koleganya yang tewas di tengah penyelaman scuba dalam di labirin gua. "Saat menyelam, Anda bisa saja beruntung. Beberapa kali beruntung, dan Anda akan mulai menganggapnya sebagai keahlian. Garis pembatas antara kesuksesan dan kegagalan dalam penjelajahan yang berani amatlah tipis."

Teknologi bisa membantu penerbangan me­lintasi Arktika (kesuksesan pertama pe­nerbangan ke Kutub Utara terjadi 30 tahun setelah upaya Andrée) dan membuka pintu lain. Pemancar satelit, komunikasi yang dapat diandalkan, kemajuan di bidang meteorologi, dan robot pembantu hanyalah beberapa inovasi yang mendobrak batasan eksplorasi. Tetapi, bahkan Ballard, yang dibantu oleh robot dalam penemuan besarnya, menegaskan bahwa teknologi "tak menjadikan segalanya mungkin."

Dan itu bagus. "Jika Anda menyingkirkan ketidakpastian, motivasi turut tersingkir," kata Athans. "Keinginan melebarkan jangkauan adalah sifat alami manusia. Tak perlu keajaiban untuk mencapai tempat yang sudah kita ketahui bisa kita capai."



==================

Hannah Bloch pernah menulis tentang arkeologi Pulau Paskah di edisi Juli 2012.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.