Wednesday, March 12, 2014

Kebenaran soal Lubang Hitam

Selama ini Albert Einstein keliru.

OLEH MICHAEL FINKEL
FOTO OLEH
Bintang kita, Matahari, akan mati diam-diam. Massa Matahari hanya rata-rata untuk ukuran bintang. Setelah bahan bakar hidrogennya habis terbakar sekitar lima miliar tahun lagi, lapisan-lapisan luarnya akan terlepas perlahan. Bagian inti­nya akhirnya akan memadat, menjadi apa yang disebut sebagai katai putih.

Untuk bintang yang besarnya sepuluh kali lipat Matahari, kematiannya jauh lebih dramatis. Lapis­an-lapisan luarnya terlontar ke ruang angkasa dalam ledakan supernova. Sementara itu, inti­nya dipadatkan oleh gravitasi menjadi bintang neu­tron, bola berputar yang berdiameter sekitar 20 kilo­meter. Pecahan bintang neutron sebesar kubus gula memiliki berat satu miliar ton di Bumi; tarikan gravitasi bintang neutron begitu besar, sehingga andai ada permen jatuh di sana, benturannya akan menghasilkan energi sebesar bom atom.

Tetapi, ini belum apa-apa ketimbang sakratul­maut bintang yang massanya 20 kali lipat Matahari. Jika bom atom sebesar Hiroshima diledakkan setiap milidetik sepanjang usia alam semesta, itu masih kalah jauh dari jumlah energi yang dilepaskan dalam saat-saat terakhir keruntuhan bintang raksasa. Inti bintang itu terjun ke dalam. Suhunya mencapai 55 miliar derajat Celsius. Gaya gravitasinya dahsyat, tak terhentikan. Bongkah-bongkah besi yang lebih besar daripada Gunung Everest dipadatkan seketika menjadi sekecil butir pasir. Atom tercerai-berai menjadi elektron, proton, neutron. Benda-benda kecil itu dilumat menjadi quark, lepton, dan gluon. Dan seterusnya, makin lama makin kecil, makin padat, hingga...

Hingga entah bagaimana. Saat berusaha men­jelaskan fenomena penting ini, dua teori utama yang mengatur cara kerja alam semesta—relativitas umum dan mekanika kuantum—berantakan, ibarat jarum indikator pesawat terbang yang berputar-putar liar saat pesawat jatuh spiral.

Bintang itu menjadi lubang hitam.

Yang menjadikan lubang hitam jurang ter­gelap di alam semesta adalah kecepatan yang diperlukan untuk lolos dari tarikan gravitasinya. Untuk mengatasi cengkeraman Bumi, kita harus mencapai 11 kilometer per detik. Ini cepat—enam kali lipat kecepatan peluru—tetapi roket buat­an manusia sudah berhasil mencapai ke­cepatan ini sejak 1959. Batas kecepatan uni­versal adalah 299.792 kilometer per detik, yaitu kecepatan cahaya. Namun, itu pun belum cukup untuk mengalahkan tarikan lubang hitam.

Maka, apa pun yang berada di dalam lubang hitam, berkas cahaya sekalipun, tidak dapat keluar. Dan akibat efek aneh gravitasi ekstrem, kita tidak mungkin bisa mengintip ke dalam. Garis pemisah antara di dalam dan di luar lu­bang hitam disebut 'cakrawala peristiwa'. Apa pun yang melewati cakrawala itu—bintang, planet, manusia—hilang selamanya.

Albert Einstein, salah seorang pemikir pa­ling imajinatif dalam sejarah fisika, tidak per­nah meyakini bahwa lubang hitam itu nyata. Me­­nurut rumus-rumusnya, lubang hitam mung­kin saja ada, tetapi dia merasa bahwa alam tidak mungkin mengizinkan keberadaan benda semacam itu. Dia tidak dapat menerima bahwa gravitasi dapat mengalahkan gaya yang semestinya lebih kuat—elektromagnetik, nuklir—dan menyebabkan inti suatu bintang raksasa hilang dari alam semesta.

Einstein tidaklah sendirian. Pada paruh per­­tama abad ke-20, sebagian besar fisikawan me­­nepiskan kemungkinan adanya benda yang cukup padat untuk mencekik cahaya.

Namun, para ilmuwan sudah bertanya-tanya tentang kemungkinan tersebut bahkan sejak abad ke-18. Filsuf Inggris John Michell me­­nyebutkan konsep itu dalam laporan ke­pada Royal Society of London pada 1783. Tidak ada yang menyebut benda aneh superpadat ini lubang hitam—benda ini disebut sebagai bintang beku, bintang gelap, bintang runtuh, atau singularitas Schwarzschild. Nama "lubang hitam" pertama kali digunakan pada 1967, dalam ceramah fisikawan Amerika John Wheeler di Columbia University di New York.

Pada kira-kira waktu yang sama, ada per­geseran radikal dalam pemikiran lubang hitam, terutama karena penciptaan cara-cara baru melihat ruang angkasa. Sejak awal masa, kita terbatasi pada spektrum cahaya tampak. Namun, pada 1960-an, teleskop sinar-x dan gelombang radio mulai digunakan secara luas. Dengan alat ini, astronom dapat mengumpulkan cahaya dalam panjang gelombang yang me­nembus debu antarbintang, dan melihat "tulang interior" galaksi.

Yang mengejutkan, hal yang ditemukan ilmu­wan adalah bahwa di pusat hampir semua galaksi—dan ada lebih dari 100 miliar galaksi di alam semesta—terdapat kumpulan ramai bin­tang, gas, dan debu. Di pusat kumpulan semrawut ini, di hampir setiap galaksi yang di­lihat, termasuk Bima Sakti kita sendiri, ter­dapat sebuah benda yang begitu berat dan be­gitu padat, dengan tarikan gravitasi yang amat ganas, sehingga bagaimana pun cara meng­ukurnya, hanya ada satu penjelasan yang mungkin: Benda itu lubang hitam.

Lubang-lubang tersebut berukuran raksasa. Yang berada di pusat Bima Sakti, beratnya 4,3 juta kali Matahari. Galaksi tetangga, Andro­meda, ditempati lubang hitam dengan massa setara dengan 100 juta Matahari. Galaksi-ga­lak­si lain diduga berisi lubang hitam semiliar Matahari, dan beberapa bahkan memiliki mon­ster sepuluh-miliar-Matahari. Lubang hitam tidak mengawali hidupnya dengan massa sebesar ini. Beratnya bertambah setelah makan, mirip manusia.

Dalam waktu satu generasi fisikawan saja, lubang hitam berubah dari bahan lelucon men­jadi fakta yang diterima luas. Ternyata, lubang hitam ada di mana-mana. Jumlahnya di alam semesta ini mungkin mencapai triliunan.

belum pernah ada yang melihat lubang hitam, dan tak akan pernah ada. Tidak ada yang bisa dilihat. Hanya titik kosong di ruang ang­kasa—tidak ada apa-apa sama sekali, se­perti yang senang dikatakan para fisikawan. Keberadaan lubang hitam disimpulkan dari efeknya pada sekelilingnya.

Seberapa yakin kita bahwa lubang hitam itu nyata, jawabannya selalu 99,9 persen yakin. Jika di pusat hampir semua galaksi tidak ada lubang hitam, pasti ada sesuatu yang lebih gila lagi. Tetapi, keraguan ini mungkin dapat dihapuskan sama sekali dalam beberapa bulan saja. Para astronom berencana memata-matai salah satu lubang hitam itu saat dia sedang makan.

Lubang hitam di pusat Bima Sakti, yang ber­jarak 26.000 tahun cahaya dari Bumi, ber­nama Sagittarius A*. Sgr A*—itu singkatan standar­nya; nama belakangnya dibaca A-bintang—saat ini merupakan lubang hitam yang tenang, makannya pilih-pilih. Galaksi-galaksi lain ditempati Godzilla pelahap planet, pengoyak bintang yang disebut quasar.

Tetapi, Sgr A* sedang bersiap-siap makan. Lubang hitam itu sedang menarik awan gas ber­nama G2 pada kecepatan sekitar 3.000 kilo­meter per detik. Hanya setahun lagi, G2 akan mendekati cakrawala-peristiwa lubang itu. Pada saat itu, teleskop radio di seluruh dunia akan berfokus pada Sgr A*, dan diharapkan bahwa dengan menyinkronkan semuanya untuk mem­bentuk observatorium seplanet yang disebut Teleskop Cakrawala Peristiwa (Event Horizon Telescope), kita dapat menghasilkan gambar lubang hitam yang sedang beraksi. Yang akan terlihat bukan lubangnya sendiri, tetapi mungkin benda yang disebut 'piringan akresi', yaitu cincin puing di sekitar tepi lubang itu. Ini semestinya cukup untuk membuyarkan sebagian besar keraguan tentang keberadaan lubang hitam.

Lebih dari sekadar ada, lubang hitam mung­kin malah turut membentuk susunan alam se­mesta. Materi yang melesat ke arah lubang hitam menimbulkan banyak panas akibat gesekan. Be­gitu pula benda yang meluncur ke arah lubang hitam. Lubang hitam juga berputar—mirip kolam pusaran yang dalam di ruang angkasa—dan kombinasi antara gesekan dan putaran ini menyebabkan banyak materi yang jatuh ke arah lubang hitam, kadang lebih dari 90 persen, akhirnya tidak menyeberangi cakrawala peristiwa, tetapi malah terlontar, seperti bunga api dari roda pengasah.

Materi panas ini membentuk semburan yang melesat di ruang angkasa, menjauhi lubang itu pada kecepatan luar biasa. Semburan ini me­nempuh jarak jutaan tahun cahaya, melintasi galaksi. Dengan kata lain, lubang hitam meng­aduk bintang-bintang tua di pusat galaksi dan me­nyalurkan gas mendidih yang terbentuk dalam proses ini ke bagian luar galaksi. Gas itu mendingin, menggumpal, dan akhirnya mem­bentuk bintang baru, menyegarkan galaksi bagai­­kan air mancur yang awet muda.

ada beberapa hal penting yang perlu ditegaskan tentang lubang hitam. Daya sedot lubang hitam tidaklah lebih besar daripada bintang biasa; tetapi lubang hitam memang memiliki cengkeraman luar biasa untuk ukur­an­nya. Seandainya Matahari tiba-tiba menjadi lubang hitam—ini tidak akan terjadi, tetapi kita andaikan saja—massanya akan tetap sama, tetapi diameternya akan menyusut dari 1.392.000 kilometer menjadi kurang dari 6,5 kilometer. Bumi akan menjadi gelap dan dingin, tetapi orbit kita mengitari Matahari tidak akan berubah. "Matahari lubang hitam" ini akan mem­beri tarikan gravitasi yang sama pada planet kita dengan Matahari berukuran biasa.

Jadi, lubang hitam tidak pernah menyedot. Hal berikutnya, waktu, jauh lebih sulit dipahami. Waktu dan lubang hitam memiliki hubungan yang aneh. Sebenarnya waktu itu sendiri me­­rupakan konsep yang tidak biasa. Anda mung­kin tahu ungkapan "waktu itu relatif". Ini berarti waktu bergerak dengan kecepatan ber­beda-beda bagi semua orang. Sebagaimana ditemukan Einstein, waktu dipengaruhi oleh gravitasi.

Jam pada satelit pemosisian global (GPS) harus disetel agar berdetak lebih lambat sedikit daripada jam di permukaan bumi. Kalau tidak disetel begitu, GPS tidak akan akurat.

Lubang hitam, dengan tarikan gravitasi yang luar biasa, pada dasarnya adalah mesin waktu. Naik roket, terbang ke Sgr A*. Dekati cakra­wala peristiwa perlahan-lahan, tetapi jangan melintasinya. Untuk setiap menit yang dilewatkan di sana, seribu tahun berlalu di bumi.

Dan kalau kita menyeberangi cakrawala peristiwa, lalu apa? Orang yang menyaksikan dari luar tidak akan melihat kita masuk ke sana. Kita akan tampak membeku di tepi lubang. Beku selama waktu tak terhingga.

Tetapi, sebenarnya tidak tak terhingga. Tak ada yang abadi, lubang hitam pun tidak. Stephen Hawking, sang ilmuwan Inggris, membuktikan bahwa lubang hitam itu bocor—kebocoran itu disebut 'radiasi Hawking'—dan setelah cukup waktu berlalu, ia akan menguap seluruhnya.

sementara pengamat luar tidak akan melihat kita jatuh ke dalam lubang hitam, apa yang terjadi pada kita? Sgr A* begitu besar sehingga cakrawala peristiwanya terletak 13 juta kilometer dari pusatnya. Mungkin di sana ada tembok api, dan saat mencapai cakrawala peristiwa, kita langsung terbakar habis.

Namun, teori relativitas umum memper­kirakan bahwa saat kita menyeberangi cakrawala peristiwa, akan terjadi hal lain: Tak terjadi apa-apa. Kita lewat saja, tanpa menyadari bahwa kita telah hilang bagi alam semesta. Sering dikata­kan bahwa lubang hitam memiliki dalam tak terhingga, tetapi ini tidak benar. Dasarnya ada. Namun, kita sudah mati sebelum sempat me­lihatnya. Saat kita jatuh, gravitasi akan se­makin kuat. Tarikan pada kaki, kalau kita jatuh dengan kaki di bawah, akan jauh lebih besar daripada tarikan pada kepala sehingga kita akan meregang sampai putus. Para fisikawan menyebut peristiwa ini "terspagetikan" atau "menjadi spageti".

Tetapi, keping-keping tubuh kita akan sampai ke dasar. Di pusat lubang hitam terdapat misteri yang disebut 'singularitas'. Jika singularitas kelak dapat dipahami, itu akan menjadi salah satu terobosan ilmiah terbesar dalam sejarah. Pertama, kita perlu menciptakan teori baru—yang melampaui relativitas umum Einstein, yang menentukan gerak bintang dan galaksi. Lalu kita perlu melampaui mekanika kuantum, yang memperkirakan apa yang terjadi pada partikel mikroskopis. Kedua teori ini bisa mewakili realitas, tetapi di tempat ekstrem, seperti di dalam lubang hitam, keduanya tidak berlaku.

Singularitas dibayangkan berukuran amat sangat kecil. Lebih dari kecil: Jika singularitas diperbesar satu triliun triliun kali, mikroskop terkuat di dunia tetap tidak bisa melihatnya. Tetapi, ada sesuatu di situ, setidaknya dari segi matematika. Sesuatu yang bukan hanya kecil, tetapi juga amat sangat berat. Tak usah repot berusaha memahaminya. Sebagian besar fisikawan berkata, ya, lubang hitam ada, tetapi bagaikan brankas sempurna. Mustahil dibobol. Kita tak akan pernah tahu isi singularitas.

Tetapi, segelintir pemikir non-ortodoks ber­pendapat lain. Beberapa tahun belakangan ini kalangan fisikawan teori semakin menerima pe­mikiran bahwa alam semesta kita bukanlah satu-satunya. Sebaliknya, kita tinggal di tempat yang disebut 'multiverse'—kumpulan alam se­mesta, masing-masing gelembung terpisah dalam bika ambon realitas. Ini sangat spekulatif, tetapi mungkin saja bahwa untuk melahirkan alam semesta baru, kita perlu mengambil materi dari alam semesta yang ada, memadatkannya, lalu menyekatnya.

Mirip dengan pembahasan di atas, ya? Lagi pula, kita sudah tahu apa yang terjadi pada setidaknya satu singularitas. Alam semesta kita dimulai, 13,8 miliar tahun yang lalu, dalam ledakan besar raksasa. Sesaat sebelumnya, segala sesuatu dimuat dalam titik yang sangat kecil dan sangat padat—sebuah singularitas. Mungkin multiverse itu ibarat pohon ek. Sesekali ada biji ek lepas, jatuh ke tanah ideal, dan tiba-tiba bertunas. Demikian pula singularitas, benih alam semesta baru. Dan seperti tunas ek, kita tidak pernah mengirim surat terima kasih kepada ibu kita.

Bukti tentang kemungkinan isi lubang hitam cukup meyakinkan. Coba lihat ke kiri, lihat ke kanan. Cubit diri sendiri. Lubang hitam mungkin berasal dari alam semesta lain. Tetapi, mungkin kita sedang tinggal di dalamnya.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.