Ernesto "Che" Guevara (lahir di Rosario, Argentina, 14 Juni 1928 – meninggal di Bolivia, 9 Oktober 1967 pada umur 39 tahun) adalah seorang pejuang revolusi, dokter, penulis, pemimpin gerilyawan, diplomat, dan pakar teori militer asal Argentina yang berhaluan Marxis. Sebagai salah satu tokoh utama dalam Revolusi Kuba, wajahnya telah menjadi simbol perlawanan dalam gerakan kontra-kebudayaan dan dalam budaya populer.[2]
Saat masih menjadi seorang mahasiswa kedokteran, Guevara menjelajahi wilayah Amerika Selatan dan mengalami radikalisasi akibat kemiskinan, kelaparan, dan penyakit yang ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri.[3] Ia sangat ingin menghentikan eksploitasi yang menurutnya dilakukan oleh "kapitalis Amerika Serikat", sehingga ia mencoba membantu reformasi sosial yang dicanangkan di Guatemala oleh Presiden Jacobo Árbenz. Namun, Árbenz kemudian dilengserkan dengan bantuan dari CIA atas desakan dari United Fruit Company, sehingga Guevara menjadi semakin mantap dengan ideologi yang dianutnya.[3] Setelah itu, ia pindah ke Kota Meksiko, dan di situ ia bertemu dengan Raúl dan Fidel Castro dan bergabung dengan Gerakan 26 Juli. Mereka berlayar ke Kuba dengan menumpangi sebuah kapal yacht yang bernama Granma, dengan tujuan menjatuhkan diktator Kuba yang didukung oleh Amerika Serikat, Fulgencio Batista.[4] Guevara kemudian menjadi tokoh yang terkenal di kalangan pemberontak dan diangkat sebagai komandan kedua, dan ia sendiri juga memainkan peranan yang penting dalam kampanye gerilya selama dua tahun yang pada akhirnya berhasil melengserkan rezim Batista.[5]
Seusai Revolusi Kuba, Guevara mengemban berbagai peranan penting dalam pemerintahan Castro. Peran-peran tersebut meliputi peninjauan banding dan hukuman tembak mati untuk orang-orang yang divonis melakukan kejahatan perang oleh pengadilan revolusioner,[6] pelaksanaan reformasi agraria dalam kapasitasnya sebagai menteri perindustrian, serta penggalakkan kampanye melek huruf di seluruh Kuba. Selain itu, ia menjabat sebagai direktur pengarahan angkatan bersenjata Kuba dan presiden bank nasional, dan ia berkeliling dunia sebagai perwakilan resmi Kuba. Guevara juga turut andil dalam melatih militer yang akhirnya berhasil menghalau Invasi Teluk Babi,[7] dan ia mendukung pengiriman misil-misil balistik bersenjata nuklir milik Uni Soviet ke Kuba yang berujung pada Krisis Misil Kuba tahun 1962.[8]
Guevara juga merupakan seorang penulis. Ia menyusun sebuah buku panduan tentang perang gerilya dan juga sebuah memoir tentang perjalanan masa mudanya dengan menggunakan sepeda motor. Pengalamannya serta ideologi Marxisme–Leninisme yang ia anut membuatnya meyakini bahwa keterbelakangan dan kebergantungannegara-negara Dunia Ketiga merupakan dampak dari imperialisme, neokolonialisme, dan kapitalisme monopoli, dan ia berkeyakinan bahwa hal ini hanya dapat dirombak oleh internasionalisme proletarian dan revolusi dunia.[9][10] Guevara meninggalkan Kuba pada tahun 1965 untuk mengobarkan revolusi di luar negeri. Pertama-tama ia mencoba membantu pemberontak di Kongo-Kinshasa, tetapi upaya ini mengalami kegagalan. Ia lalu menjadi gerilyawan di Bolivia, tetapi ia ditangkap oleh militer Bolivia yang dibantu CIA dan kemudian dihukum mati dengan ditembak.[11]
Che Guevara merupakan tokoh sejarah yang dipuja dan dikecam, dengan imajinasi kolektif tentang dirinya yang saling bertolak belakang di dalam berbagai buku biografi, memoir, esai, film dokumenter, lagu, dan film. Akibat anggapan bahwa ia adalah seorang martir, serta ajakannya untuk mengobarkan perjuangan kelas dan menciptakan kesadaran seorang "manusia baru" yang didorong oleh moral ketimbang materi,[12] ia menjadi lambang berbagai gerakan kiri.
Majalah Time menobatkannya sebagai salah satu dari 100 tokoh paling berpengaruh pada abad ke-20,[13] sementara foto Che Guevara yang diabadikan oleh Alberto Korda (yang berjudul Guerrillero Heroico) dianggap sebagai "foto paling terkenal di dunia" oleh Maryland Institute College of Art .[14]
Majalah Time menobatkannya sebagai salah satu dari 100 tokoh paling berpengaruh pada abad ke-20,[13] sementara foto Che Guevara yang diabadikan oleh Alberto Korda (yang berjudul Guerrillero Heroico) dianggap sebagai "foto paling terkenal di dunia" oleh Maryland Institute College of Art .[14]
Kehidupan awal[sunting | sunting sumber]
Ernesto Guevara lahir dari pasangan Ernesto Guevara Lynch dan istrinya, Celia de la Serna y Llosa, pada tanggal 14 Juni 1928[1] di Rosario, Argentina, sebagai anak sulung dari lima bersaudara dalam sebuah keluarga Argentina kelas menengah keturunan Spanyol (termasuk Basque dan Cantabria), ditambah dengan darah Irlandia dari leluhur patrilinealnya, Patrick Lynch.[15][16][17] Sesuai dengan keluwesan tata penamaan dalam bahasa Spanyol, nama resminya (Ernesto Guevara) terkadang juga ditambahkan dengan nama belakang "de la Serna" dan/atau "Lynch".[18] Saat sedang membicarakan sifat Che yang "tidak tenang", ayahnya menyatakan bahwa "Hal pertama yang perlu disadari dari putraku adalah darah para pemberontak Irlandia yang mengalir di dalam tubuhnya".[19]
Pada masa awal hidupnya, Ernestito (julukannya pada masa itu) tumbuh menjadi pribadi yang "peduli kepada kaum miskin".[20] Ia dibesarkan dengan latar belakang keluarga yang condong ke arah kiri, dan ia sudah melihat berbagai sudut pandang politik sejak masih kecil.[21] Ayahnya merupakan pendukung faksi Republik dalam Perang Saudara Spanyol, dan ia seringkali menerima veteran-veteran konflik tersebut di rumahnya.[22]
Walaupun Guevara mengidap asma yang akut sepanjang hidupnya, ia adalah seorang atlet yang handal, dan ia menyukai olahraga renang, sepak bola, golf, dan menembak, selain juga menjadi seorang pesepeda yang "tidak kenal lelah".[23][24] Ia merupakan seorang pemain rugbi,[25] dan bermain pada posisi fly-half untuk Club Universitario de Buenos Aires.[26] Saat bermain rugbi, ia diberi julukan "Fuser" (yang merupakan penggabungan singkatan El Furibundo (buas) dengan nama belakang ibunya, de la Serna) akibat gaya bermainnya yang agresif.[27]
Minat intelektual dan sastra[sunting | sunting sumber]
Guevara belajar catur dari ayahnya dan mulai ikut turnamen lokal pada saat ia masih berusia 12 tahun. Pada masa remaja dan sepanjang hidupnya, ia sangat menggemari puisi, khususnya puisi-puisi karya Pablo Neruda, John Keats, Antonio Machado, Federico García Lorca, Gabriela Mistral, César Vallejo, dan Walt Whitman.[28] Ia juga seringkali membaca puisi "If—" karya Rudyard Kipling dan Martín Fierro karya José Hernández, dan bahkan hafal dengan sajak-sajaknya.[28] Di dalam rumah Guevara terdapat lebih dari 3.000 buku, dan ia suka membaca buku-buku karya Karl Marx, William Faulkner, André Gide, Emilio Salgari, dan Jules Verne.[29] Selain itu, ia menikmati karya-karya Jawaharlal Nehru, Franz Kafka, Albert Camus, Vladimir Lenin, dan Jean-Paul Sartre, serta Anatole France, Friedrich Engels, H. G. Wells, dan Robert Frost.[30]
Saat ia bertumbuh besar, ia semakin tertarik dengan karya-karya penulis-penulis Amerika Latin seperti Horacio Quiroga, Ciro Alegría, Jorge Icaza, Rubén Darío, dan Miguel Asturias.[30]Gagasan-gagasan para penulis tersebut ia tuliskan di dalam buku catatannya tentang konsep, definisi, dan filsafat. Salah satu yang ia masukkan ke dalam catatan tersebut adalah gagasan Buddha dan Aristoteles, serta pandangan Bertrand Russell tentang cinta dan patriotisme, Jack London tentang masyarakat, dan Nietzsche tentang kematian. Gagasan Sigmund Freud juga membuatnya takjub, dan ia mengutip pernyataan-pernyataannya dalam berbagai topik, dari mimpi dan libido hingga narsisisme dan kompleks Oedipus.[30]Pelajaran-pelajaran kesukaannya di sekolahan adalah filsafat, matematika, teknik, ilmu politik, sosiologi, sejarah, dan arkeologi.[31][32]
Bertahun-tahun sesudahnya, 'laporan biografi dan kepribadian' CIA pada tanggal 13 Februari 1958 yang telah dideklasifikasikan menjabarkan minat akademik dan intelektual Guevara, dan laporan ini menggambarkannya sebagai orang yang "cukup banyak bacaannya" dan juga menambahkan bahwa "Che adalah orang yang cukup terpelajar untuk seorang Latino."[33]
Perjalanan sepeda motor[sunting | sunting sumber]
Pada tahun 1948, Guevara masuk Universitas Buenos Aires dan mengambil jurusan kedokteran. "Hasratnya untuk menjelajahi dunia"[34] membuatnya memutuskan untuk menyelingi pendidikannya dengan dua perjalanan yang akan sangat mengubah caranya memandang dirinya sendiri dan kondisi ekonomi di Amerika Latin pada masa itu. Perjalanan pertamanya pada tahun 1950 merupakan sebuah perjalanan sejauh 4.500 kilometer di provinsi-provinsi pedesaan utara Argentina dengan menggunakan sepeda yang dilengkapi dengan mesin kecil yang ia pasang sendiri.[35] Kemudian, pada tahun 1951, ia melakukan perjalanan sepeda motor sejauh 8.000 kilometer di sebagian besar wilayah Amerika Selatan bersama dengan temannya, Alberto Granado. Untuk melakukan perjalanan keduanya, ia libur kuliah selama setahun, dan tujuan akhir mereka adalah menjadi sukarelawan di koloni lepra San Pablo di Peru selama beberapa minggu.[36]
Di Chili, Guevara sangat marah setelah melihat kondisi para pekerja di tambang tembaga Chuquicamata milik Anaconda, dan ia merasa tersentuh saat ia menyaksikan sepasang komunis yang mengalami penindasan dan bahkan tak memiliki selimut di Gurun Atacama.[38] Selain itu, saat sedang dalam perjalanan ke Machu Picchu di Pegunungan Andes, ia terguncang dengan kemiskinan yang melanda kawasan-kawasan pedesaan; sebagai catatan, di kawasan tersebut para petani mengerjakan lahan-lahan kecil yang dimiliki oleh tuan-tuan tanah kaya.[39] Pada masa akhir perjalanannya, ia merasa sangat terkesan dengan persahabatan orang-orang di koloni lepra, dan ia berkomentar bahwa "Bentuk solidaritas dan kesetiaan manusia yang tertinggi muncul di antara orang-orang yang kesepian dan putus asa."[39] Guevara menceritakan perjalanannya di dalam sebuah buku catatan yang berjudul The Motorcycle Diaries (Buku Harian Sepeda Motor), yang kelak menjadi karya dengan penjualan terbaik menurut New York Times,[40] dan diadaptasi ke dalam film pemenang penghargaan dari tahun 2004 dengan judul yang sama.
Perjalanan kedua Guevara melintasi wilayah Argentina, Chili, Peru, Ekuador, Kolombia, Venezuela, Panama, dan Miami,[41] dan lalu ia kembali ke Buenos Aires. Pada akhir perjalanan, ia tidak menganggap Amerika Latin sebagai sekumpulan negara-negara yang terpisah, tetapi sebagai sebuah entitas tunggal yang membutuhkan strategi pembebasan dengan cakupan seluruh benua. Pandangannya mengenai Amerika Hispanikyang bersatu, tanpa sekat, dan memiliki warisan budaya bersama kelak menjadi sebuah tema yang seringkali diangkat selama kegiatan-kegiatan revolusionernya. Sekembalinya di Argentina, ia menyelesaikan kuliahnya dan memperoleh gelar di bidang kedokteran pada Juni 1953, sehingga secara resmi ia disebut "Dr. Ernesto Guevara".[42]
Guevara kemudian berkomentar bahwa berkat perjalanannya di Amerika Latin, ia "berhubungan langsung dengan kemiskinan, kelaparan dan penyakit", serta "ketidakmampuan untuk mengobati seorang anak karena kekurangan uang" dan "ketidakmampuan untuk berpikir yang dipicu oleh kelaparan dan hukuman" yang membuat seorang ayah "menerima kehilangan seorang putra sebagai sebuah kecelakaan yang tidak penting". Pengalaman-pengalaman ini membuat Guevara yakin bahwa untuk "menolong orang-orang ini", ia harus keluar dari dunia kedokteran dan masuk ke ranah perjuangan politik bersenjata.[3]
Revolusi Kuba[sunting | sunting sumber]
Invasi, perang, dan Santa Clara[sunting | sunting sumber]
Langkah pertama dalam rencana revolusioner Castro adalah serangan ke Kuba dari Meksiko dengan menaiki Granma, sebuah kapal penjajap kabin yang sudah tua dan bocor. Mereka tiba di Kuba pada tanggal 25 November 1956. Mereka diserang oleh pasukan Batista tidak lama setelah mendarat, sehingga banyak dari antara 82 pasukan Castro yang tewas dalam serangan tersebut atau dihukum mati setelah ditangkap; hanya 22 orang yang berhasil berkumpul kembali sesudahnya.[73] Selama konfrontasi berdarah ini, Guevara menjatuhkan persediaan-persediaan medisnya dan mengambil sebuah kotak amunisi yang dijatuhkan oleh rekannya yang telah melarikan diri, dan ini menjadi momen simbolis dalam kehidupan Che.[74]
Hanya ada sekelompok kecil pejuang revolusi yang selamat dan dapat berkumpul kembali di pegunungan Sierra Maestra. Di situ, mereka mendapatkan dukungan dari jaringan gerilyawan perkotaan Frank País, Gerakan 26 Juli, dan petani-petani campesino setempat. Semenjak mundur ke Pegunungan Sierra, dunia menjadi penasaran apakah Castro masih hidup atau sudah mati sampai awal 1957 saat wawancaranya dengan Herbert Matthews diterbitkan di The New York Times. Artikel tersebut membentuk citra Castro dan para gerilyawannya. Guevara tidak hadir dalam wawancara tersebut, tetapi pada bulan-bulan berikutnya, ia mulai menyadari pentingnya media dalam perjuangan mereka. Sementara itu, persediaan dan moral semakin menipis, dan alergi akibat gigitan nyamuk menghasilkan kista seukuran kacang kenari di tubuhnya,[75] sehingga Guevara menganggap masa itu sebagai "hari-hari paling menyakitkan semasa perang".[76]
Pada saat Guevara hidup bersembunyi di antara para petani subsisten miskin di pegunungan Sierra Maestra, ia mendapati bahwa di sana tidak ada sekolah dan listrik, fasilitas kesehatannya masih minim, dan lebih dari 40% orang dewasa buta huruf.[77] Saat perang berlanjut, Guevara menjadi tokoh yang penting di kalangan pemberontak dan berhasil "meyakinkan Castro dengan kecakapan, diplomasi, dan kesabaran".[5]Guevara mendirikan pabrik-pabrik untuk menghasilkan granat, membuat oven-oven untuk memanggang roti, mengajarkan taktik-taktik kepada orang-orang yang baru direkrut, dan menyelenggarakan sekolah-sekolah agar orang-orang yang buta huruf dapat membaca dan menulis.[5] Selain itu, Guevara mendirikan klinik-klinik kesehatan, lokakarya untuk mengajarkan taktik militer, dan sebuah surat kabar untuk menyebarkan informasi.[78] Pada masa itu pula, ia juga diangkat oleh Fidel Castro menjadi Comandante (komandan) barisan angkatan bersenjata kedua.[5]
Sebagai komandan kedua, Guevara merupakan orang yang sangat disiplin dan terkadang menembaki orang-orang yang membelot. Orang-orang yang meninggalkan tugas dianggap sebagai pengkhianat, dan Guevara mengirim regu-regu untuk melacak mereka yang telah lari.[79] Akibatnya, Guevara ditakuti akan kebrutalan dan kekejamannya.[80] Selama kampanye gerilya, Guevara juga bertanggung jawab atas penghukuman mati sejumlah orang yang dituduh sebagai informan, orang yang meninggalkan tugas, atau mata-mata.[81] Di dalam buku hariannya, Guevara menceritakan penghukuman mati Eutímio Guerra, seorang pemandu tentara dari kalangan petani yang mengaku telah berkhianat setelah diketahui bahwa ia dijanjikan sepuluh ribu peso dan berulang kali memberitahukan posisi para pemberontak untuk diserang oleh angkatan udara Kuba.[82]Informasi semacam itu juga memungkinkan tentara Batista untuk membakar rumah-rumah petani yang bersimpati kepada revolusi.[82] Setelah Guerra meminta agar mereka "mengakhiri hidupnya dengan cepat",[82]Che melangkah maju dan menembak kepalanya, dan ia lalu menulis bahwa "Keadaan tersebut sangat tidak mengenakkan bagi orang-orang dan bagi Eutimio sehingga aku mengakhiri masalah tersebut dengan menembaknya dengan pistol .32 di sisi kanan otaknya, dengan lubang di sisi kanan [lobus] temporal."[83] Seorang penulis biografi merasa bahwa gaya penulisannya yang menjelaskan fakta dan menggunakan istilah-istilah ilmiah menunjukkan bagaimana ia "sungguh terlepas dari kekerasan" pada masa perang tersebut.[83] Kemudian, Guevara menerbitkan sebuah catatan mengenai insiden tersebut, yang berjudul "Kematian Seorang Pengkhianat", dan di situ ia mengubah kisah Eutimio menjadi "perumpamaan revolusioner mengenai penebusan melalui pengorbanan".[83]
Meskipun cenderung keras dan banyak meminta, ia merasa bahwa seorang komandan juga berperan sebagai guru, dan ia menghibur pasukan-pasukannya saat sedang beristirahat dengan membacakan karya-karya Robert Louis Stevenson, Cervantes, dan para penyair lirik Spanyol.[84] Selain itu, ia terinspirasi oleh prinsip "melek huruf tanpa batas" José Martí, sehingga ia berusaha memastikan agar para pemberontak meluangkan waktunya untuk mengajar para petani yang tak terdidik yang tinggal bersama mereka sebagai bagian dari "pertempuran melawan kebodohan".[77] Tomás Alba, yang berjuang di bawah komando Guevara, kelak menyatakan bahwa "Che dicintai, meskipun ia keras dan banyak meminta. Kami bersedia mengorbankan nyawa kami untuknya."[85]
Fidel Castro menganggap Guevara sebagai seorang pemimpin yang cerdas, berani, dan patut diteladani, dan Castro juga merasa bahwa Guevara "memiliki otoritas moral yang besar terhadap pasukannya".[86] Walaupun begitu, Castro menganggap Guevara terlalu banyak mengambil risiko, dan bahkan memiliki "kecenderungan nekat".[87] Letnan Guevara yang masih remaja, Joel Iglesias, mengisahkan tindakan-tindakan semacam itu dalam buku hariannya, tetapi ia menyatakan bahwa perilaku Guevara selama pertempuran bahkan membuat kagum musuhnya. Contohnya adalah ketika Iglesias terluka dalam pertempuran, ia melihat bahwa "Che berlari ke arahku, menerobos hujaman peluru, menggendongku di pundaknya, dan membawaku keluar dari sana. Para pasukan [lawan] tidak berani menembaknya ... kemudian mereka berkata kepadaku bahwa ia sungguh mengesankan mereka saat mereka melihatnya berlari dengan pistolnya yang ditenteng di sabuknya dan menghiraukan bahaya, [sehingga] mereka tidak berani menembak."[88]
Guevara berperan penting dalam mendirikan stasiun radio bawah tanah Radio Rebelde (Radio Pemberontak) pada Februari 1958, yang menyiarkan pernyataan-pernyataan Gerakan 26 Juli kepada rakyat Kuba dan memungkinkan komunikasi radiotelepon di antara sejumlah pemberontak yang tersebar di pulau tersebut. Guevara tampaknya terinspirasi dari kemujaraban radio yang disediakan oleh CIA di Guatemala pada masa pelengseran pemerintahan Jacobo Árbenz Guzmán.[89]
Untuk memadamkan pemberontakan, pasukan pemerintah Kuba mulai menghukum mati para pemberontak yang ditahan, dan secara berkala menangkapi, menyiksa, dan menembaki warga sipil sebagai bagian dari taktik intimidasi.[90] Pada Maret 1958, kekejaman yang dilakukan oleh pasukan Batista membuat Amerika Serikat menghentikan penjualan senjata kepada pemerintahan Kuba.[78] Kemudian, pada akhir Juli 1958, Guevara memainkan peranan penting dalam Pertempuran Las Mercedes dengan menugaskan barisannya untuk menghalangi 1.500 pasukan yang dikerahkan oleh Jenderal Cantillo dalam upaya untuk mengepung dan menghancurkan pasukan Castro. Beberapa tahun kemudian, Mayor Larry Bockman dari Korps Marinir Amerika Serikatmenganggap taktik Che dalam pertempuran tersebut sebagai taktik yang "brilian".[91] Pada masa itu, Guevara juga telah menjadi "ahli" taktik dalam melakukan penyerangan dan kemudian mundur ke pedesaan sebelum tentara Batista dapat melakukan serangan balasan.[92]
Ketika perang terus berlanjut, Guevara memimpin barisan pejuang baru yang dikerahkan ke barat untuk mendekati kota Havana. Pasukan tersebut berjalan kaki selama tujuh minggu dan hanya bergerak pada malam hari agar tidak disergap musuh, dan mereka seringkali tidak makan selama berhari-hari.[93] Pada hari-hari terakhir Desember 1958, tugas Guevara adalah membagi Kuba menjadi dua dengan merebut Provinsi Las Villas. Dalam waktu beberapa hari, ia berhasil memperoleh sejumlah "kemenangan taktis yang brilian", sehingga ia dapat menguasai seluruh provinsi tersebut kecuali ibu kotanya di Santa Clara.[93] Guevara kemudian mengirim "regu bunuh diri"-nya ke Santa Clara, tetapi mereka malah berhasil memperoleh kemenangan yang gemilang.[94][95] Sebagai catatan, selama enam minggu sebelum Pertempuran Santa Clara, terdapat masa ketika pasukan Che dikepung di segala arah, kalah persenjataan, dan kalah jumlah 10:1. Walaupun begitu, Che masih dapat menang, sehingga beberapa pengamat menganggapnya sebagai "pencapaian yang luar biasa dalam peperangan modern".[96]
Radio Rebelde menyiarkan laporan pertama bahwa barisan Guevara telah mengambil alih Santa Clara pada Malam Tahun Baru 1958. Hal ini bertentangan dengan laporan dari media berita nasional yang sangat dikendalikan oleh pemerintah, yang sempat melaporkan bahwa Guevara tewas dalam pertempuran. Pada pukul tiga dini hari tanggal 1 Januari 1959, setelah mendengar kabar bahwa para jenderal sedang merundingkan perdamaian dengan Guevara, Fulgencio Batista menaiki sebuah pesawat di Havana dan melarikan diri ke Republik Dominika. Ia turut membawa "kekayaan yang jumlahnya melebihi $300.000.000 dari korupsi dan suap".[97] Pada hari berikutnya, Guevara memasuki kota Havana.[98] Fidel Castro butuh waktu enam hari untuk tiba di Havana, karena ia berhenti untuk menggalang dukungan di beberapa kota besar. Secara keseluruhan, jumlah korban tewas yang ditimbulkan oleh revolusi ini tercatat sekitar 2.000 orang.[99]
Pada pertengahan Januari 1959, Guevara menetap di sebuah vila musim panas di Tarará agar ia dapat memulihkan diri dari serangan asma beratnya.[100] Saat berada di sana, ia membentuk Grup Tarara, sebuah kelompok yang membahas dan menyusun rencana-rencana pembangunan ekonomi, politik, dan sosial Kuba.[101] Selain itu, Che mulai menulis bukunya yang berjudul Perang Gerilya saat masih berada di Tarara.[101] Pada bulan Februari, pemerintah revolusioner memproklamirkan Guevara sebagai "warga negara Kuba berdasarkan kelahiran" untuk mengakui jasa-jasanya selama revolusi.[102] Saat Hilda Gadea tiba di Kuba pada akhir bulan Januari, Guevara berkata kepadanya bahwa ia memiliki hubungan dengan wanita lain, sehingga keduanya bercerai,[103] dan perceraian tersebut diresmikan pada tanggal 22 Mei.[104] Pada tanggal 2 Juni 1959, ia menikahi Aleida March, seorang anggota gerakan 26 Juli kelahiran Kuba yang telah tinggal dengannya sejak akhir tahun 1958. Guevara kembali ke desa pinggir laut Tarara pada bulan Juni untuk berbulan madu dengan Aleida.[105] Guevara sendiri dikaruniai lima orang anak dari dua pernikahannya.[106]
Penangkapan dan kematian[sunting | sunting sumber]
Tak ada orang yang lebih ditakuti oleh [CIA] ketimbang Che Guevara karena ia memiliki kapasitas dan karisma yang diperlukan untuk memimpin perjuangan melawan penindasan politik dari hierarki tradisional di negara-negara Amerika Latin.
Félix Rodríguez, orang Kuba di pengasingan yang menjadi agen Divisi Aktivitas Khusus CIA, memberikan nasihat kepada pasukan Bolivia dalam upaya untuk mencari Guevara di Bolivia.[207] Selain itu, film dokumenter dari tahun 2007 yang berjudul My Enemy's Enemymelayangkan tuduhan bahwa penjahat perang Nazi, Klaus Barbie, memberikan nasihat dan mungkin juga membantu CIA dalam penyusunan rencana penangkapan Guevara.[208]
Pada tanggal 7 Oktober 1967, seorang informan memberitahukan lokasi perkemahan Guevara di jurang Yuro kepada Pasukan Khusus Bolivia.[209] Pada pagi hari tanggal 8 Oktober, mereka mengepung kawasan tersebut dengan dua batalion yang berjumlah 1.800 tentara dan mereka pun bergerak ke jurang tersebut. Di tengah berkecamuknya pertempuran, Guevara terluka dan ditangkap saat memimpin sebuah detasemen bersama dengan Simeón Cuba Sarabia. Penulis biografi Che, Jon Lee Anderson, melaporkan catatan dari seorang sersan Bolivia yang bernama Bernardino Huanca: bahwa saat Rangers Bolivia mendekati Guevara, Guevara telah tertembak dua kali, dan pistolnya sudah tidak berguna lagi, sehingga ia menjatuhkan senjatanya sebagai tanda menyerah dan berteriak kepada para pasukan: "Jangan tembak! Aku adalah Che Guevara dan aku lebih berharga bagi kalian dalam keadaan hidup daripada mati."[210]
Guevara diikat dan dibawa ke sebuah bangunan sekolahan yang terbuat dari lumpur dan bobrok di dekat desa La Higuera pada sore hari tanggal 8 Oktober. Guevara menolak untuk diinterogasi oleh para perwira Bolivia dan hanya berbicara dengan suara yang pelan kepada para tentara Bolivia. Salah satu tentara Bolivia tersebut, yaitu seorang pilot helikopter bernama Jaime Nino de Guzman, menyatakan bahwa Che tampak "dalam keadaan buruk". Menurut Guzman, betis kanan Guevara tertembak, rambutnya kusut dan kotor, pakaiannya robek-robek, dan kakinya ditutupi dengan sarung kulit. Meskipun berpenampilan lesu, ia menyatakan bahwa "Che menegakkan kepalanya, melihat orang langsung di matanya, dan hanya meminta rokok." De Guzman menyatakan bahwa ia "merasa kasihan" dan memberikannya sekantong kecil tembakau untuk pipanya, dan Guevara kemudian tersenyum dan berterima kasih kepadanya.[211] Setelah itu, pada malam tanggal 8 Oktober, Guevara dengan tangan yang terikat berhasil menendang seorang perwira Bolivia yang bernama Kapten Espinosa setelah perwira tersebut mencoba mengambil pipa Guevara dari mulutnya sebagai cendera mata.[212] Guevara juga pernah meludahi wajah Laksamana Muda Bolivia Ugarteche, yang berusaha menginterogasi Guevara beberapa jam sebelum Guevara dihukum mati.[212]
Pada pagi berikutnya tanggal 9 Oktober, Guevara meminta dipertemukan dengan seorang guru wanita berusia 22 tahun di desa tersebut yang bernama Julia Cortez. Cortez kemudian menyatakan bahwa ia menganggap Guevara sebagai seorang "pria yang tampak ramah dengan pandangan sekilas yang lembut dan ironis", dan saat mereka saling berbicara ia "tak dapat menatap matanya" karena "tatapannya tak tertahankan, menusuk, dan begitu tenang".[212] Selama perbincangan mereka yang singkat, Guevara membahas soal kondisi sekolah yang buruk, dan ia mengatakan bahwa itikad untuk mendidik para pelajar dari golongan campesino di dalam sebuah bangunan dengan kondisi seperti itu merupakan hal yang "anti-pedagogi", sementara "para pejabat pemerintah mengemudikan mobil-mobil Mercedes", sehingga Guevara menegaskan bahwa "Hal itulah yang berusaha kami lawan".[212]
Pada hari yang sama, Presiden Bolivia René Barrientos memerintahkan agar Guevara dibunuh. Perintah tersebut dikirimkan oleh Félix Rodríguez kepada satuan yang menahan Guevara, meskipun pemerintah Amerika Serikat sebelumnya sudah meminta agar Guevara dibawa ke Panama untuk diinterogasi lebih lanjut.[213] Orang yang mengajukan diri sebagai sukarelawan untuk menghabisi nyawa Guevara adalah Mario Terán, seorang sersan alkoholik berusia 27 tahun di angkatan darat Bolivia. Alasannya adalah untuk membalas kematian tiga temannya dari Kompi B beberapa hari sebelumnya selama pertempuran melawan kelompok gerilyawan Guevara.[6] Agar luka tembaknya sesuai dengan cerita yang telah dirangkai oleh pemerintah Bolivia untuk diumumkan kepada khalayak luas, Félix Rodríguez memerintahkan agar Terán tidak menembak kepala Guevara, tetapi ia harus mencoba membuat seolah-olah Guevara gugur dalam pertempuran.[214] Gary Prado, seorang kapten yang memimpin kompi yang berhasil menangkap Guevara, menyatakan bahwa alasan Barrientos memerintahkan penghukuman mati Guevara adalah agar Guevara tidak dapat lari dari penjara, dan juga karena proses pengadilan dirasa akan menimbulkan drama yang dapat merugikan pemerintah.[215]
Tiga puluh menit sebelum Guevara dibunuh, Félix Rodríguez berupaya untuk mencari tahu letak para gerilyawan lainnya yang masih buron, tetapi Guevara tetap bergeming. Rodríguez, yang dibantu oleh beberapa tentara Bolivia, membantu mengangkat Guevara dan membawanya ke luar gubuk untuk mengaraknya di hadapan para tentara Bolivia lainnya. Mereka lalu berfoto dan salah seorang tentara mengabadikan sebuah foto Rodríguez dan tentara-tentara lainnya yang berdiri di sebelah Guevara. Sesudah itu, Rodríguez memberitahu kepada Guevara bahwa ia akan dihukum mati. Tidak lama sesudahnya, Guevara ditanyai oleh salah satu tentara Bolivia yang menjaganya tentang apakah ia memikirkan tentang keabadiannya. "Tidak," jawabnya, "Aku berpikir tentang keabadian revolusi."[216] Beberapa menit kemudian, Sersan Terán masuk ke dalam gubuk tersebut untuk menembaknya, dan Guevara dikabarkan berdiri dan berkata: "Aku tahu kau datang untuk membunuhku. Tembak, pengecut! Kau hanya akan membunuh satu orang." Terán sempat ragu, dan kemudian mengarahkan pistol karbin M2 miliknya[217] dan menembakkannya. Tembakan tersebut mengenai Guevara di bagian lengan dan tungkainya.[218] Kemudian, saat Guevara menggeliat kesakitan (dan tampaknya ia menggigit salah satu pergelangan tangannya agar tidak menjerit kesakitan), Terán menembak lagi, dan tembakan ini mengakibatkan luka fatal di dadanya. Guevara dinyatakan tewas pada pukul 13.10 waktu setempat menurut Rodríguez.[218] Secara keseluruhan, Guevara ditembak sembilan kali oleh Terán, termasuk lima tembakan di tungkainya, satu di pundak dan lengan kanannya, dan satu di dada dan tenggorokannya.[212]
Berbulan-bulan sebelumnya, selama deklarasi publik terakhirnya di Konferensi Tiga Benua,[172] Guevara sudah menulis orasi pemakamannya sendiri: "Di manapun kematian dapat mengejutkan kita, mari kita sambut, asalkan seruan perjuangan kita mungkin telah didengar oleh beberapa telinga yang mau mendengar dan tangan lain dapat diulurkan untuk memegang senjata kita."[219]
Pasca-eksekusi dan peringatan[sunting | sunting sumber]
Setelah dihukum mati, jenazah Guevara diangkut ke dalam sebuah helikopter dan diterbangkan ke Vallegrande. Di situ foto-foto jenazah Che diabadikan di dalam binatu Nuestra Señora de Malta.[220] Beberapa saksi mata dipanggil untuk memastikan identitasnya, salah satunya adalah jurnalis Inggris Richard Gott, satu-satunya saksi mata di dalam ruangan tersebut yang pernah bertemu Guevara saat ia masih hidup. Jenazahnya diperlihatkan kepada umum, dan ratusan warga setempat lalu berjalan melewati jenazahnya. Banyak yang menganggap jenazah Guevara memiliki wajah yang "mirip Kristus", dan beberapa orang bahkan diam-diam memotong rambutnya karena dianggap sebagai pusaka ilahi.[221] Perbandingan semacam itu juga dibuat oleh kritikus seni Inggris John Berger dua minggu kemudian saat sedang melihat foto-foto post-mortem Guevara; foto-foto tersebut mengingatkannya kepada dua lukisan terkenal, yaitu Pelajaran Anatomi Dr. Nicolaes Tulp karya Rembrandt dan Peratapan Jenazah Yesus karya Andrea Mantegna.[222] Sementara itu, terdapat empat koresponden yang hadir saat jenazah Guevara didatangkan ke Vallegrande, termasuk Björn Kumm dari harian Swedia, Aftonbladet, yang melaporkan momen tersebut pada tanggal 11 November 1967 khusus untuk The New Republic.[223]
Sebuah memorandum tertanggal 11 Oktober 1967 yang ditujukan kepada Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dari Penasihat Keamanan Nasional-nya, Walt Whitman Rostow, menyebut keputusan untuk membunuh Guevara sebagai keputusan yang "bodoh", tetapi "dapat dipahami dari sudut pandang Bolivia".[224] Sementara itu, Rodríguez telah mengambil beberapa barang pribadi Guevara, termasuk sebuah arloji yang kemudian ia kenakan selama bertahun-tahun dan seringkali dipamerkan kepada para wartawan.[225] Setelah dokter militer mengamputasi tangan Guevara, para perwira militer Bolivia memindahkan jasad Guevara ke sebuah tempat rahasia dan menolak memberitahu apakah jasadnya sudah dikuburkan atau dikremasi. Kedua tangannya dikirim ke Buenos Aires untuk proses identifikasi sidik jari. Kedua tangan Guevara lalu dikirim ke Kuba.[226]
Pada tanggal 15 Oktober, Fidel Castro secara terbuka mengakui bahwa Guevara telah wafat dan memproklamirkan masa berkabung selama tiga hari di seluruh Kuba.[227]Kemudian, pada tanggal 18 Oktober, Castro membahas tentang sifat Guevara sebagai seorang revolusioner di hadapan satu juta orang yang berkabung di Plaza de la Revolución, Havana.[228] Fidel Castro menutup pidatonya dengan berkata:
Jika kita ingin mengungkapkan apa yang kita harapkan dari generasi mendatang, kita harus berkata: Biarkan mereka menjadi seperti Che! Jika kita ingin mengatakan bagaimana kita ingin anak-anak kita dididik, kita harus berkata tanpa keraguan: Kita ingin mereka dididik dengan semangat Che! Jika kita menginginkan teladan seorang manusia, yang bukan tergolong ke dalam masa kini tetapi untuk masa mendatang, aku berkata dari lubuk hatiku yang terdalam bahwa teladan semacam itu, tanpa cela sedikitpun pada perilakunya, tanpa cela sedikitpun pada tindakannya, adalah Che![229]
Barang-barang Guevara lain yang disita meliputi buku harian berisi 30.000 kata, sebuah kumpulan puisi pribadinya, dan sebuah cerita pendek yang ia karang tentang seorang gerilyawan komunis muda yang belajar bagaimana melawan rasa takut.[230] Buku hariannya mendokumentasikan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama kampanye gerilya di Bolivia,[231] dengan entri pertama pada tanggal 7 November 1966, tak lama setelah ia tiba di sebuah peternakan di Ñancahuazú, dan yang terakhir tertanggal 7 Oktober 1967, sehari sebelum penangkapannya. Buku harian tersebut mengisahkan bagaimana para gerilyawan terpaksa memulai operasi secara dini karena keberadaan mereka telah diketahui oleh Angkatan Darat Bolivia, sehingga menjelaskan keputusan Guevara untuk membagi pasukannya menjadi dua satuan yang kemudian terpencar. Buku harian tersebut juga mencatat perpecahan antara Guevara dengan Partai Komunis Bolivia yang membuat Guevara memiliki pasukan yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada yang diharapkan. Selain itu, buku harian ini menunjukkan bahwa Guevara mengalami kesulitan dalam merekrut penduduk setempat, salah satunya karena kelompok gerilyanya telah mempelajari bahasa Quechua dan tak menyadari bahwa bahasa yang dituturkan di daerah operasi mereka sebenarnya adalah bahasa Tupí–Guaraní.[232] Menjelang akhir kampanye, Guevara menjadi semakin sakit. Ia mengidap asma yang terus memburuk, dan sebagian besar serangan terakhirnya dilakukan dalam upaya untuk mencari obat-obatan.[233] Buku harian Guevara di Bolivia dengan segera diterjemahkan dan disebarkan oleh majalah Ramparts dan diedarkan ke seluruh dunia.[234]
Intelektual Prancis Régis Debray, yang ditangkap pada April 1967 bersama dengan Guevara di Bolivia, bersedia untuk diwawancara di penjara pada Agustus 1968, dan di situ ia menjelaskan soal kondisi di balik penangkapan Guevara. Debray, yang belum lama tinggal dengan kelompok gerilyawan Guevara, berkata bahwa menurutnya mereka adalah "korban-korban hutan" dan kemudian "dimakan oleh hutan".[235] Debray menjelaskan keadaan ketika pasukan Guevara mengalami gizi buruk, kekurangan air, tidak memiliki sepatu, dan hanya mempunyai enam selimut untuk 22 orang. Debray menjelaskan bahwa Guevara dan yang lainnya terserang sebuah "penyakit" yang menyebabkan tangan dan kaki mereka membengkak seperti "gumpalan daging" sehingga jari-jari di tangan mereka tak dapat lagi dikenali. Walaupun begitu, Debray merasa bahwa Guevara tetap "optimis dengan masa depan Amerika Latin", dan menyatakan bahwa Guevara "siap mati karena ia tahu bahwa kematiannya akan menjadi semacam kelahiran kembali", terutama mengingat bahwa Guevara menganggap kematian "sebagai janji kelahiran kembali" dan "ritual pembaharuan".[235]
Untuk hal-hal tertentu, keyakinan Guevara tentang kebangkitan secara metaforis pada akhirnya menjadi kenyataan. Saat gambar-gambar jenazah Guevara beredar dan latar belakang kematiannya diperdebatkan, legenda Che mulai tersebar. Demonstrasi yang menentang "pembunuhan"nya diadakan di berbagai belahan dunia, dan artikel-artikel dan puisi-puisi mengenai kehidupan dan kematiannya pun dirangkai.[236] Pawai-pawai dukungan terhadap Guevara diadakan dari "Meksiko sampai Santiago, Aljazair sampai Angola, dan Kairo sampai Kalkuta".[237] Penduduk Budapest dan Praha menyalakan lilin-lilin untuk menghormati kepergian Guevara, dan gambar Che yang sedang tersenyum muncul di London dan Paris.[238] Beberapa bulan kemudian, kerusuhan terjadi di Berlin, Prancis, dan Chicago, dan ketika hal tersebut turut menyebar ke kampus-kampus Amerika, pria dan wanita muda mengenakan baju Che Guevara dan membawa gambar-gambarnya. Menurut pandangan sejarawan militer Erik Durschmied, selama puncak protes pada tahun 1968, "Che Guevara tidaklah mati. Ia sungguh sangat hidup."[239]
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.